Kerusakan Hutan Mengundang Petaka, Hentikan Eksploitasi dan Pembalakan Liar

Sumatera Barat (Sumbar) termasuk salah satu provinsi dengan potensi bencana besar.

Riki Chandra
Kamis, 28 Oktober 2021 | 15:35 WIB
Kerusakan Hutan Mengundang Petaka, Hentikan Eksploitasi dan Pembalakan Liar
Foto kawasan hutan yang rusak akibat pembukaan lahan di perbukitan Sungai Pisang, Bungus, Kota Padang, Sumatera Barat, Kamis (3/8/2017). [Dok.ANTARA/Iggoy el Fitra]

SuaraSumbar.id - Sumatera Barat (Sumbar) termasuk salah satu provinsi dengan potensi bencana besar. Selain di daerah pesisir pantai yang selalu 'dihantui' tsunami, Ranah Minang juga memiliki kawasan perbukitan dengan ancaman tanah longsor hingga banjir.

Tak ayal, mantan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno kerap menyebut bahwa Sumbar adalah daerah 'supermarket' bencana. Kondisi tersebut merata mengintai 19 kabupaten dan kota.

Sepanjang tahun 2021, puluhan kali bencana alam telah menerjang sejumlah wilayah di Sumbar. Mulai dari banjir, banjir bandang hingga tanah longsor. Terbaru, tujuh warga Padang Pariaman, tewas tertimbun longsor pada Kamis (30/9/2021) lalu.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumbar menyebut kerusakan hutan menjadi salah pemicu terjadinya bencana alam. Pembalakan liar, pengundulan hutan hingga alih fungsi hutan, berpengaruh terhadap siklus alam di Sumbar. Lebih-lebih saat musim penghujan yang dipastikan akan menyebabkan banjir.

Baca Juga:Gubernur Sumbar Sebut Covid-19 Mustahil Hilang Tanpa Vaksin

Divisi Riset dan Database Walhi Sumbar, Andre Bustamar menyebutkan, sepanjang tahun 2017-2019, deforestasi hutan di Sumbar mencapai 24 ribu hektare. Sedangkan pada pertengahan 2020 tercatat sudah mencapai 33 ribu hektare.

"Pertengahan 2020, tutupan hutan Sumbar menurun menjadi 43 persen dari luas administrasi. Penghitungan itu dilakukan dengan metode penginderaan jauh dengan interpretasi Citra Landsat 8 yang dilakukan Departemen Advokasi Walhi Sumbar," katanya, Selasa (19/10/2021) lalu.

Dari analisis WALHI, penyebab utama berkurangnya kawasan hutan di Sumbar lantaran pembebasan izin di kawasan hutan yang berpotensi konflik dan pembalakan liar. Kemudian juga karena pembukaan dan penebangan liar hutan oleh korporasi atau pun kelompok perorangan.

"Alasan kenapa hutan Sumbar masih luas karena kesesuaian lahan untuk dibuka itu sangat rendah dan sebagian besar hutan tersebut merupakan hulu-hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bertopografi curam. Selain itu, sebagian kecil merupakan ekosistem gambut," katanya.

Menurut Andre Bustamar, potensi bencana banjir, tanah longsor akan selalu mengintai wilayah Sumbar jika ekpsloitasi hutan tidak dihentikan. Kawasan seputar pantai barat Sumatera yang memiliki curah hujan hingga 3.500 mm per tahun, paling rentang diterjang banjir dan longsor.

Baca Juga:BI Kembali Buka Layanan Uang di Sumbar, Kaltara, Kalsel

"DAS yang pendek dan curam akan menjadi lebih parah, jika pembalakan liar dan pemberian izin ekpsloitasi hutan tetap terjadi. Kondisi ini (ekpsloitasi) banyak terjadi saat ini di Bungus Teluk Kabung, Padang hingga ke Tapan, Pesisir Selatan," tuturnya.

Selain itu, WALHI Sumbar juga mencatat sejumlah spot illegal loging terbaru. Kondisi ini terpantau di kawasan Bungus Teluk Kabung Padang, Kabupaten Solok Selatan, dan Kabupaten Sijunjung.

"Kami berharap agar tidak lagi membebaskan izin di kawasan hutan. Ini berfungsi untuk menurunkan potensi bencana. Perlu keseriusan dalam hal pengawasan kawasan hutan oleh pihak berwenang," katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Yozarwardi mengklaim, kelestarian hutan di Sumbar masih terjaga dan lebih baik dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. Menurutnya, menjaga hutan sudah menjadi kewajiban Dinas Kehutanan. Hal itu diimplementasikan dalam berbagai program.

Pertama, menyiagakan polisi kehutanan. Selain itu, ada juga mitra yang akan mengawasi hutan di setiap nagari di masing-masing daerah yang bernama Satgas Perlindungan Hutan Berbasis Nagari (PHBN).

Kedua, polisi kehutanan juga selalu melakukan patroli untuk memastikan tidak terjadinya tindakan-tindakan pelanggaran dan perusakan hutan. Kemudian, jika terjadi perusakan hutan, dilakukan operasi terpadu dengan melibatkan TNI, Polri dan semua stakeholder terkait.

"Tiga poin yang sudah berjalan itu adalah komitmen kami dalam rangka menjaga dan melindungi hutan agar tetap terjaga kelestariannya," katanya.

Yozarwardi menerangkan, Luas Hutan Sosial (LHS) di Sumbar hingga Januari 2021 mencapai 228.658 hektare.Sedangkan total alokasi yang direncanakan pemerintah daerah mencapai 500 ribu hektare.

Menurutnya, ada 3 kelompok masyarakat yang mendapatkan Surat Keputusan (SK) Hutan Sosial di Sumbar. Masing-masing, warga di Padang Janieh, Kelurahan Lumbung Bukik, Kecamatan Pauh, Kota Padang dengan luas 250 hektare.

Kemudian, warga di Kelurahan Limau Manis, Kecamatan Pauh, Kota Padang dengan luas 300 hektare. Ketiga, warga di Nagari Barung-Barung Belantai Selatan, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan dengan luas 432 hektare.

"SK Hutan Sosial itu menjadi peluang bagi masyarakat di daerah untuk mengelola lahan hutan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," katanya.

Dia juga merincikan kawasan Hutan Sosial yang telah mendapatkan SK Hutan Sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Masing-masing di wilayah Kabupaten Pasaman, Pasaman Barat, Agam, Kabupaten Kota, Tanah Datar, Padang Pariaman, Sijunjung, Dharmasraya, Solok, Solok Selatan, Pesisir Selatan, Mentawai, Kota Sawahlunto, Padang Panjang, dan Kota Padang.

Dari 228,658 hektare, di antaranya terbagi ke 100 kawasan masuk Hutan Nagari dengan luas 185.168,83 hektare. Kemudian, 45 kawasan Hutan Kemasyarakatan seluas 28.939 hektare. Lalu, 91 kawasan Hutan Tanaman Rakyat seluas 2.241,81 hektare.

Selanjutnya, 5 kawasan hutan adat dengan luas 11.893,37, serta 3 kawasan masuk Kemitraan Kehutanan dengan luas 435,08 hektare.

"129.494 KK berada dalam skema Hutan Sosial di Sumbar dan mereka bisa mengolah lahan dan hasil hutan bukan kayu untuk meningkatkan kesejahteraan mereka," katanya.

Di sisi lain, data yang disajikan Global Forest Watch (GFW) mengungkapkan bahwa Sumbar kehilangan sebanyak 273 kilohektare hutan primer sejak tahun 2022 hingga 2020. Angka tersebut menyumbang sebanyak 46 persen dari total kehilangan tutupan lahan.

Sejak tahun 2021 hingga 2020, Sumbar kehilangan tutupan pohon sebesar 56 persen. Kabupaten Dharmasyara paling banyak menyumbang kehilangan tutupan lahan, yakni mencapai 120 kilohektare. Sedang rata-rata daerah lainnya hanya di angka 30.1 kilohektare.

Dat GFW juga mengungkapkan tambahan tutupan pohon sebesar 136 kilohektare yang tercatat sejak tahun 2021 hingga 2012. Angka tersebut menyumbang 2,0 persen dari pertambahan tutupan pohon di Indonesia.

Dari total luas hutan Sumbar, sebanyak 78,5 persen merupakan hutan alam yang juga hutan Masyarakat Hukum Adat (MHA). Sedangkan 11,9 persen lainnya kawasan perkebunan dan non hutan 9,6 persen.

Maraknya Konflik Hewan Buas dengan Manusia

Selain bencana alam, konflik hewan buas dengan manusia juga marak terjadi diberbagai daerah di Sumbar. Sejak Januari hingga Juni 2021, BKSDA Sumbar mencatat 27 kasus konflik satwa liar. Mulai dari serangan buaya muara, beruang madu, macan, hingga harimau.

Kepala BKSDA Sumbar, Ardi Andono mengatakan, dari puluhan konflik tersebut, kasus kemunculan beruang madu paling mendominasi, bahkan hingga menyerang dan melukai manusia.

"Penanganan beruang paling banyak. Tahun ini terjadi dua kali penyerangan beruang terhadap manusia," katanya.

Tim BKSDA Sumbar berhasil menyelamatkan seekor Harimau Sumatera yang dinamai Kanti Marama di area perkebunan kelapa sawit PT. Pasaman Marama Sejahtera (PMS), Senin (19/07/2021). [Suara.com/ Istimewa]
Tim BKSDA Sumbar berhasil menyelamatkan seekor Harimau Sumatera yang dinamai Kanti Marama di area perkebunan kelapa sawit PT. Pasaman Marama Sejahtera (PMS), Senin (19/07/2021). [Suara.com/ Istimewa]

Maraknya kemunculan hewan buas, terutama yang hidup di hutan belantara juga bagian dampak dari pembabatan hutan yang selama ini menjadi rumah bagi satwa-satwa langka yang dilindungi. Hal itu dinyatakan Divisi Riset dan Database Walhi Sumbar, Andre Bustamar.

Menurut Andre, flora dan fauna di hutan Sumbar sudah sejak lama hidup berdampingan dengan masyarakat. Menurutnya, deforestasi akan memutus koridor-koridor satwa dan juga merusak rantai makanan ekosistem.

"Koridor satwa sangat penting untuk menjaga manusia dan satwa tetap hidup berdampingan. Begitu pun dengan rantai makanan satwa yang terganggu akan menjadi peledakan populasi suatu satwa, serta menurunkan populasi satwa lain, itulah yang biasa disebut tropic cascade," katanya.

Lain halnya dengan Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Yozarwardi. Menurutnya, maraknya konflik hewan buas dengan manusia di Sumbar belum bisa dipastikan karena kerusakan hutan. Perlu kajian lebih lanjut menyangkut hal itu lantaran kawasan hutan di Sumbar masih terjaga.

"Bagi mereka (satwa liar) yang punya daya jelajah lebih jauh akan berpindah ke hutan yang lebih lebat. Apabila mereka tidak sanggup lagi menjelajah, tentu encari makanan secara instan yakni masuk ke perkampungan," katanya.

Seekor harimau atau satwa liar lainnya, belum tentu masuk permukiman warga untuk mencari mangsa. Bisa jadi, satwa-satwa itu ke pinggir hutan dekat pemukiman untuk mengasuh anak-anaknya.

"Anaknya ini kan diasuh dulu baru bisa memangsa dan biasanya (diasuh) di pinggir-pinggir hutan. Jika anak-anaknya ini sudah sigap dan tangkas memangsa, barulah (induknya) melepas anaknya ke hutan belantara," katanya.

Kontributor : B Rahmat

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini