SuaraSumbar.id - Hampir seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemko Bukittinggi serentak mengganti foto profil mereka dengan gambar Wali Kota Erman Safar. Tidak hanya itu, gambar tersebut begitu seragam dengan disertai tulisan “Tidak Loyal adalah Bibit Seorang Penghianat”
Tidak hanya di WhatsApp, langkah itu juga dilakukan di Facebook dan Instagram. Sikap para PNS tersebut kini hangat diperbincangkan di media sosial (Medsos). Sejumlah grup medsos pun dibanjiri komentar netizen. Banyak yang mengapresiasi, tapi tidak sedikit pula yang mencibir.
Menyikapi hal itu pengamat komunikasi Sumbar, Rifa Yanas berpendapat adanya penguatan branding imej. Menurutnya, peluncuran suatu produk komunikasi dimaksudkan untuk membangun citra positif.
“Serangkaian kata-kata yang disertai gambar atau foto adalah produk komunikasi. Di situ, ada pesan yang ingin disampaikan seorang komunikator kepada komunikan. Chanel yang dipakai adalah medsos. Nah, apa efek komunikasi yang ditimbulkan, ini tentu perlu kajian,” katanya, Kamis (23/9/2021).
Baca Juga:Aturan PNS 2021 Terbaru dari Jokowi: Lapor Harta hingga Tidak Boleh Bolos
Penggunaan new media oleh pemerintah, kata dia, merupakan cara efektif dalam pembentukan wacana publik. Menurutnya ini adalah jalan singkat untuk memutus siklus hubungan tradisional antara pengambil keputusan dengan publik.
“Bayangkan saja kalau seandainya pemerintah harus menempuh cara-cara lama dalam membangun wacana. Prosesnya bisa panjang dan melelahkan,” kata Rifa Yanas yang juga Ketua Forum Jurnalis Keterbukaan Informasi Publik (FJKIP) Bukittinggi itu.
Ditanyakan tentang pesan yang ingin disampaikan oleh Pemko Bukittinggi tentang kata-kata loyalitas dalam bingkai foto Wali Kota, menurutnya berpotensi memunculkan beragam persepsi.
“Berbicara loyalitas, saya jadi ingat sepakbola. Bursa transfer pemain yang ditutup awal September lalu menjadi ajang patah hati para fans. Misalnya, fans Barcelona patah hati ketika Lionel Messi berlabuh ke PSG. Tidak sedikit fans yang memberi cap, Messi tidak loyal,” tuturnya.
Menurut Rifa, loyalitas seringkali dijadikan acuan kebersamaan, satu komando, senasib sepenanggungan, serta identik dengan kesetiaan. Tidak loyal, akan mudah dicap penghianat, bahkan tukang selingkuh.
Baca Juga:Teken PP Disiplin PNS, Jokowi Larang PNS Dukung Capres hingga Ikut Kampanye
Kata-kata loyal juga sering disandingkan dengan rasionalitas dan objektivitas. Misalnya, orang bisa disebut berpikir rasional ketika menjatuhkan pilihan pada yang ia sukai, atau penting bagi kehidupannya.
“Contoh wartawan, profesinya mengamanahkan untuk menyampaikan berita. Kalau asam lambung naik, ia lebih pilih makan dulu, baru menulis berita. Tentu bukan berarti wartawan ini tidak loyal pada profesinya. Tapi ia bertindak rasional, tidak ada berita seharga nyawa,” katanya.
“Tidak hanya di dunia korporasi, di lingkungan pemerintahan bisa juga demikian. Bawahan yang takut kehilangan pangkat dan jabatan, takut kehilangan fasilitas dan tunjangan, tuntutan ekonomi keluarga, mereka akan bertindak rasional dan objektif. Karena itu dalam politik dikenal istilah tidak ada lawan dan kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi,” tegasnya.
Lulusan pascasarjana Ilmu Komunikasi Unand ini menambahkan, setiap pesan komunikasi yang digaungkan pemerintah sudah pasti menimbulkan reaksi publik.
“Ingat kata Presiden Jokowi saat melantik kabinet, tidak boleh ada visi-misi menteri, yang ada hanya visi-misi Presiden dan Wakil Presiden,” pungkasnya.