Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Jum'at, 28 Juli 2023 | 21:59 WIB
Saksi pidana, Elwi Danil memberi keterangan dalam kasus dugaan korupsi RSUD Pasaman Barat. [Suara.com/B Rahmat]

SuaraSumbar.id - Sidang dugaan korupsi pembangunan RSUD Pasaman Barat kembali bergulir di Pengadilan Tipikor Padang, Jumat (28/7/2023). Sidang beragenda mendengarkan keterangan saksi ahli pidana, Elwi Danil, guru besar Fakultas Hukum Unand.

Kehadiran Elwi Danil ke persidangan adalah sebagai saksi dari pihak salah satu terdakwa atas nama Heru Widyarwarman yang merupakan mantan Dirut sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek pembangunan RSUD Pasaman Barat.

Elwi Danil terlebih dahulu menerangkan bahwa suatu tindak pidana harus bersifat melawan hukum. "Secara formil bertentangan dengan hukum tertulis. Namun secara Materil adalah diluar hukum tertulis. Jika keduanya terpenuhi, maka bisa dikatakan melawan hukum," katanya.

"Kemudian ada tiga syarat sehingga bisa memenjarakan seseorang, diantaranya terbukti melakukan kesalahan, tidak ada alasan pembenar dan pemaaf," katanya lagi.

Baca Juga: Bantah Besaran Kerugian Negara di Kasus Korupsi RSUD Pasaman Barat, Saksi: 16 Miliar dari Hongkong, Ngawur!

Kalau posisi terdakwa sebagai PPK dalam kasus ini, sebenarnya menyangkut keperdataan. Dalam Perpres soal pengadaan barang dan jasa, jika memang ada yang dilanggar, jaksa tidak bisa serta merta menganggap itu melanggar pasa 2 ayat (1) undang Tipikor.

"Tidak sesederhana itu, ada dua pelanggaran yakni pelanggaran yang bersifat administratif dan pelanggan bersifat pidana. Kategori perbuatan pidana, harus dilihat dari kerugian negara, atau kesengajaan," tuturnya.

Artinya, kata Elwi, ketika JPU menyatakan perbuatan melanggar hukum formilnya terpenuhi, namun juga harus mengkaji perbuatan melanggar hukum secara materilnya.

"Harus ada alasan pembenar dan pemaafnya. Artinya tidak hanya dilihat dari KUHP, namun juga dilihat dari segi materil diluar hukum tertulis," ungkapnya.

Masuk kepada pokok perkara, Penasehat Hukum terdakwa, Rahmi Jasim mempertanyakan posisi kliennya dalam proyek tersebut sebagai PPK.

Baca Juga: Dokter Spesialis RSUD Pasaman Barat Ancam Terus Mogok Sampai Intensif Dibayarkan

Kliennya itu awalnya ditunjuk sebagai Dirut sekali PPK dalam proyek. Sebagai bentuk kehati-hatiannya, kliennya meminta untuk melakukan audit dan bahkan meminta agar pembangunan diserahkan kepada Dinas PU, namun tidak terpenuhi.

Satu bulan setelahnya, kata Rahmi, yakni pada bulan Agustus, PPK diminta untuk melakukan pencairan anggaran dengan alasan bobot bangunan sudah melebihi realisasi berdasarkan kontrak.

Kemudian PPK tidak mau mencairkannya. Karena tidak mau mencairkan, PPK diancam akan diberhentikan pengerjaan. Namun setelah dilakukan rapat yang dihadiri seluruh pihak yang berkaitan dengan pembangunan, barulah PPK berani melakukan pencairan.

"Apakah sikap kehati-hatian PPK dalam hal ini bisa dijadikan alasan pembenar dan pemaaf," tanya Rahmi.

"Sesuai alur yang diceritakan pengacara, sebenarnya PPK sedang berada diposisi dilematis. Saya berpendapat yang bersangkutan prinsipnya hati-hatian. Patut digali lebih lanjut dan bisa ditempatkan sebagai alasan kehati-hatian," jawab Elwi.

Kemudian Elwi menilai bahwa PPK tidak melawan hukum, karena sebagai pembuat kebijakan, yang bersangkutan sudah melakukan pembayaran berdasarkan kontrak sesuai bobot dan sudah melebihi.

"Berarti PPK sudah bekerja sesuai tupoksinya. Jika memang sudah melebihi kontrak, malahan itu sudah melebihi dari aturan hukum dan itu jelas tidak ada melawan hukum," jelasnya.

Pada kesempatan itu, kasus ini seharusnya tidak muncul dipersidangan. Pengadilan itu adalah sarana untuk mengadili pidana lainnya. Dalam hal pidana yang berkaitan administratif, maka diselesaikan dengan administrasi.

"Mestinya harus diselesaikan secara administrasi terlebih dahulu. Jika tidak bisa, maka bisa dilakukan secara hukum pidana," pungkasnya.

Sebelumnya, kasus berawal ketika Pemkab Pasaman Barat menganggarkan pembangunan RSUD Pasaman Barat 2018-2020 dari dana alokasi khusus dan dana alokasi umum dengan pagu anggaran sebesar Rp136.119.063.000.

Dalam pelaksanaan diduga terjadi kekurangan volume pekerjaan yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp16.239.364.605,46.

Dalam perjalananya, PN Tipikor Padang telah menjatuhkan vonis bersalah untuk 7 terdakwa dengan hukuman beragam dari 2-4 tahun.

Hakim juga memutus ada kerugian negara hanya sekitar Rp 7,3 miliar. Namun atas putusan itu, JPU menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi Padang, Sumatera Barat.

Kontributor : B Rahmat

Load More