Sementara, Dr. Julianus Limbeng mengarahkan diskusi pada peradaban. Ia membagi Manusia karo dalam tiga zaman; Pra sejarah, zaman Hindu-Budha dan kerajaan Haru.
“Karena untuk keberadaan kerajaan Haru masih menjadi diskusi; kapankah kerajaan ini muncul. Etnis Karo merupakan percampuran dari ras Proto Melayu dengan ras Negroid (negrito).
Percampuran ini disebut umang,” terangnya.
Hal ini terungkap dalam Legenda Kerajaan Aji Nembah. Akisah, Puteri dari Raja Aji Nembah dinikahi oleh Raja Umang yang berdiam di Gunung Sibuaten. Jejak kisah ini terekam di Situs Palas Si Pitu Ruang, Desa Aji Nembah, yang menceritakan asal muasal Rumah Adat Karo. Umang tinggal dalam gua dan sampai sekarang masih dapat dilihat bekas-bekas kehidupannya di beberapa tempat.
Pada abad ke-1 Masehi terjadi migrasi orang India Selatan yang beragama Hindu ke Indonesia termasuk Sumatera. Mereka memperkenalkan aksara Sansekerta dan Pallawa dan agama Hindu.
Pada abad ke-5 Masehi terjadi pula gelombang migrasi India yang memperkenalkan agama Budha dan tulisan Nagari. Tengku Lukman Sinar menyatakan bahwa Tulisan Nagari akan menjadi cikal aksara Batak, Melayu, dan Jawa kuno.
“Maka tidak heran bila sistem kepercayaan dan sistem masyarakat dipengaruhi oleh Hindu dan Budha,” terangnya.
Jika dua pembicara sebelumnya, menekankan bagaimana melihat Budaya Karo, Metron melihat kedalaman pertunjukan. Mulai dari metode sinematografi teater hingga investigasi mendalam tentang kisi-kisi tradisi yang bisa dilesapkan dalam pertunjukan.
“Apa yang dilakukan ‘Tendi Karo Volkano”, seperti meletakkan arkeologi, antropologi, geologi (termasuk geomorfologi) dan budaya dalam satu meja. Kita tak bisa menepikan salah satu hanya untuk mendapat narasi. karena kepincangan akan lahir justru dengan menutup satu mata,” ujar Sutradara Ranah PAC ini.
Katanya, sudah saatnya ada, pergerakan masyarakat,yang mesti mengubah sudut menjadi titik,
mengubah pandang menjadi pijak yang selama ini terlalu mengeras untuk dijadikan kebenaran tunggal.
Lintas ilmu, disipilin seni juga menjadi satu daya yang akan memberikan manfaat selain membawa bekas lahar ke bawah mikroskop. Mengubah arsip kertas untuk dijadikan wacana.
“TENDI … ingin memperlihatkan sekaligus mengajak tak hanya melihat pucuk gunung, tetapi basa tanah yang melahirkan dendang, tarian dan mancak.” ucapnya.
Metron melihat, Teks yang dijunjung TENDI KARO VOLKANO (TKV) setidaknya berkisar pada dua hal; enam gunung dan Perlanja Sira. Pengikatnya garam, agen dan mantra. Teks-teks kecil juga bersileweran seperti geokultur wisata. Kemudian, dibungkuslah semuanya dengan Sinematografi Teater.
Istilah ini ikut dipermasalahkan. “Kenapa tidak Teater Sinematik atau Live-Cinema?” tanyanya. Ia kemudian merujuk pada metode kerja Brad Jennings dan Steven Maxwell di Selandia Baru. Keduanya membuat 14 pertunjukan yang mereka adakan selalu berada dalam ruangan. Sinematik menghukumi dirinya dengan ruang gelap agar bisa menyoroti ide yang lewat layar putih yang terkembang. Mereka telah merancang pengembangan kreatif yang komprehensif pada proses produksi dengan mengintegrasikan video panggung dan pertunjukan yang mereka ajarkan kepada pendidik seni dan siswa sehingga mereka dapat mempraktikkan konvensi dan elemen yang mereka gunakan.
Dalam sesi diskusi, Lestari mengajukan pertanyaan penting, “Adakah padanan pertunjukan ini? Atau adakah perbandingan dari pertunjukan sebelumnya?”
Metron menjawab, belum menemukan.