Sejak dulunya, kata Gusti, masyarakat kawasan pantai di Padang sangat terbuka dan toleran terhadap etnis pendatang. Ketika Belanda berkuasa, mereka pun diberikan pemukiman dengan nama etnis masing-masing. Makanya di Padang ada Kampung Cina, Kampung Keling, Kampung Jawa hingga Kampung Nias. Setelah abad ke-20, mulailah datang etnis Batak hingga Mentawai.
"Kebersamaan ragam etnis di Padang sejak dulu selalu terjaga. Ini yang perlu dirawat untuk generasi selanjutnya," katanya.
Sementara itu, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumbar, Prof. Duski Samad mengatakan, bahwa kemeriahan atraksi budaya Tionghoa di Kota Padang bukan pertunjukan baru. Menurutnya, kebersamaan masyarakat Minang, umat Islam khususnya, dalam menyaksikan pesta budaya tersebut sudah berlangsung sejak lama. Dia pun tak heran jika warga berbeda agama sama-sama antusias melihat pertunjukan barongsai dan sebagainya saat perayaan Tahun Baru Imlek.
"Masyarakat kita (Minang) sudah menerima itu (kebudayaan) karena tidak menyangkut agama. Budaya itu universal dan menjadi hiburan. Apalagi, Cap Go Meh sudah tumbuh beriringan dengan keragaman yang dinamis di Ranah Minang," kata Duski Samad, Selasa (28/2/2023).
Baca Juga:Kasus Curanmor di Padang, Hasil Curian Dijual ke Pertambangan dan Perkebunan
Tak hanya mendengar cerita mulut ke mulut, Guru Besar UIN IB Padang itu sendiri telah merasakan bagaimana indahnya toleransi di Kampung Cina Pondok. "Saya sudah 4 tahun hidup di Pondok. Kalau bicara toleransi, sudahlah tidak perlu disebut lagi. Mungkin saat kata toleransi belum ada, Padang sudah toleransi," kata mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Padang itu.
Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Sumbar itu berpesan agar setiap warga mampu terus menjaga dan mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Menurutnya, kerukunan merupakan bagian penting dalam mewujudkan kemajukan sebuah daerah dan bangsa itu sendiri.
"Kerukunan itu mahal dan syarat mutlak untuk keamanan dan kemajuan. Mari rawat kebersamaan ini dengan saling menghargai," tuturnya.
Senada dengan itu, Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Mahmud Yunus Batusangkar, Deri Rizal mengatakan, antusiasme dan berbaurnya semua etnis menyaksikan Cap Go Meh menjadi bukti bahwa terjalinnya hubungan baik antara masyarakat di Kota Padang dan Sumbar pada umumnya. Dengan kata lain, sajian budaya dinikmati siapa saja tanpa memandang agama, ras dan suku.
"Agama dan budaya boleh berbeda, tapi kebersamaan harus tetap dijaga. Ini tergambar dalam festival Cap Go Meh," katanya, Rabu (1/3/2023).
Baca Juga:Ungkap Kasus Curanmor di Padang, Polisi Amankan 20 Sepeda Motor dan Satu Unit Pikap
Ketua Pemuda Muhammadiyah Sumbar itu mengatakan, masyarakat di Minangkabau sudah sangat memahami bahwa perbedaan merupakan sunnatullah yang tidak perlu dipertentangkan. Apalagi terjerumus dalam isu rasis yang kemudian dijadikan komoditas politik untuk menguntungkan salah satu pihak.
Dosen Syariah UIN UIN Mahmud Yunus Batusangkar itu berharap agar kebersamaan antar etnis di Sumbar terus terjaga dari generasi ke generasi. Dengan begitu, toleransi di Ranah Minang akan terus tumbuh tanpa menyisakan konflik sosial. "Perlu terus mengembangkan gerakan literasi toleransi kepada masyarakat. Konflik utu sering terjadi lantaran minimnya pemahaman seseorang terhadap objek yang dibahas," katanya.