Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Rabu, 30 Desember 2020 | 08:52 WIB
Salah satu sudut di jalan di bawah Rumah Pintar Jorong Tabek, Nagari Talang Babungo yang dipenuhi ragam bunga. [Suara/Riki Chandra]

SuaraSumbar.id - “Jika belum mampu melahirkan kejayaan, apa salahnya membangun asa. Karena sebaik-baik manusia adalah manusia yang memberi manfaat bagi orang lain”.

Penggalan kalimat di atas pantas diselaraskan dengan perjuangan Kasri Satra (42). Dia adalah aktor perubahan Jorong Tabek, Nagari Talang Babungo, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Sumbar), menjadi kawasan indah dengan yang kini diburu wisatawan mancanegara.

Hari ini, mayoritas masyarakat di Sumbar mengenal nama Tabek, sebuah jorong (setingkat dusun). Ya, sejak 2016 silam, Tabek menjelma menjadi kampung wajib dikunjungi para wisatawan. Bahkan, ada yang sengaja datang dari luar Sumbar untuk berlama-lama menikmati keasrian Tabek.

Siang itu, Kamis (29/10/2020), Tabek diguyur hujan deras. Rimbun dedaunan meliuk-liuk seperti menari kegirangan disepoi angin lembut. Suhu di jorong paling ujung Nagari Talang Babungo yang biasa sejuk mendadak dingin.

Baca Juga: Alasan Paslon Gubernur Sumbar Nasrul Abit-Indra Catri Gugat KPU ke MK

Di bawah rintik hujan, sejumlah warga Tabek terlihat hilir-mudik di jalan setapak lekuk bukit dikelilingi kebun tebu. Sebagian dari mereka berteduh di bawah halte yang terbuat dari bambu atau batang aren yang sudah tidak terpakai.

"Betul-betul indah pemandangan di sini. Nyaris tak ada sampah di pinggir jalan. Bunga-bunga ini membuat Tabek semakin teduh," kata Syafriadi (32), salah seorang warga Solok yang berteduh di bawah kaki Rumah Panggung.

Sebagai warga Solok, Syafriadi yang juga Youtuber itu mengaku baru pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jorong Tabek. Selama ini, dia hanya mendengar cerita dan postingan orang-orang yang datang ke pelosok kampung itu.

Dia pun takjub dengan sajian pemandangan dan keelokan masyarakat Tabek. Menurutnya, nyaris tidak ada kampung seteratur ini di Kabupaten Solok, bahkan mungkin di Sumbar.

"Ini aset yang perlu dijaga. Pantas Tabek dikunjungi orang dari berbagai daerah. Orang di luar Solok sekarang malah taunya Tabek, bukan Nagari Talang Babungo. Ini menandakan Tabek berhasil membrand diri menjadi kampung tujuan wisata," kata ayah dua anak itu.

Baca Juga: Pria Sumbar Jual Motor Tetangga ke Pekanbaru Demi Nikahi Adik Kandung

Kampung Tabek berada di ujung bagian Selatan Kabupaten Solok. Dari pusat kota kabupaten, butuh waktu hingga 1 sampai dua jam perjalanan. Sedangkan dari Kota Padang, diperlukan waktu sekitar tiga sampai empat jam perjalanan.

Sekitar pukul 15.45 WIB atau ketika hujan mulai berangsur gerimis, SuaraSumbar.id berjumpa dengan Kasri Satra. Dia menjamu duduk di Rumah Panggung yang dinamainya 'Rumah Pintar' dan pembangunannya kini masih terbengkalai.

Sembari sesekali menghela nafas panjang dibarengi senyuman tipis, Kasri membuka kisah awal kampung berpenduduk lebih dari 2.000 jiwa itu hingga sampai ke titik hari ini. Termasuk pahit getirnya merintis kemajuan kampung yang jauh dari hiruk-pikuk mesin kendaraan.

Dulunya, Nagari (desa) Talang Babungo termasuk tertinggal dari 74 Nagari di Kabupaten Solok. Namun, dari 7 jorong di Talang Babungo, Jorong Tabek lah yang terpencil. Kampungnya nyaris seperti rimba dipenuh semak dan tebu-tebu yang kadang tak terurus.

"Jangankan warga Padang, masyarakat Solok pun tak kenal Jorong Tabek. Sangat-sangat tertinggal dan memiriskan," kata suami Pelni Eliza itu memulai perbincangan.

Sebelum menetap di tanah kelahirannya, Kasri merantau ke Malaysia. Hampir 4 tahun lamanya berjuang mencari hidup di negeri Jiran. Namun nasib membawanya pulang yang akhirnya juga berjodoh dengan gadis asli Tabek.

Kasri mulai menetap di Tabek sejak 2004. Satu halnya mendasarinya pulang adalah untuk melanjutkan pengabdian kakaknya Ainismar (almarhumah), salah seorang pendiri Madrasah Ibtidaiyah Swasta (MIS) Muallimin, sekolah pertama di kampung itu.

"Saya pulang karena pesan beliau meminta saya melanjutkan perjuangan MIS Muallimin yang berdiri atas air mata guru-guru. Sekolah swasta ini betul-betul reyot dulunya dan kini sedang menunggu status penegeriannya," kenang guru Bahasa Arab dan Penjaskes di MIS Muallim Tabek itu.

Aktif di madrasah tak membuat Kasri tumpul ide dan berkutat di ruang kelas. Dia justru semakin aktif memulai gerakan sosial pemuda di Jorong Tabek. Berbagai terobosan dilakukannya. Mulai dari gotongroyong rutin bersi-bersih kampung hingga bakti sosial kemasyarakatan lainnya.

Ketua Kampung Berseri Astra (KBA) Tabek, Kasri Satra saat menceritakan awal perjalanan KBA sejak 2016. [Suara/Riki Chandra]

Kasri sadar, gerakan sosial mengubah pola pikir masyarakat Tabek tidak semudah membalikkan telapak tangan. Belum lagi cemooh orang kampung yang menyebut kegiatan sosial sebatas hura-hura sehari dua hari. Banyak lagi nada miring yang sampai ke telinganya, namun semua dianggap angin lalu.

"Malah makin semangat. Prinsip saya, bagaimana mau berubah kalau tidak mau memulai," tuturnya.

Jalan perubahan itu kian terang di penghujung 2015 atau setelah kebakaran hebat menghanguskan 27 unit rumah warga Nagari Talang Babungo. Mula-mula, perwakilan PT Astra Internasional Tbk datang ke nagari itu untuk menyalurkan bantuan.

Namun setelah berdiskusi lama, pihak Astra juga terkesan dengan Tabek yang kampungnya masih sangat asri dan sangat cocok untuk pengembangan program Kampung Berseri Astra (KBA). Alhasil, Jorong Tabek terpilih menjadi satu-satunya KBA di Sumbar dan ditunjuklah Kasri sebagai ketua.

"Saya bilang ini sengsara membawa nikmat. Pihak Astra datang awal ke sini untuk memberi bantuan kebakaran, tapi pulang dari sini bawa semangat Tabek," katanya.

KBA hadir di tengah penolakan warga. Sebagian masyarakat berprasangka program Corporate Social Responsibilty (CSR) perusahaan internasional ini akan membawa mudarat pada generasi muda yang selama ini kuat menjaga kultur budaya dan agama.

"Awal-awal dulu sulit sekali meyakinkan warga. Pegiat KBA Tabek hanya tiga orang, kini sudah lebih 600 orang relawan aktif di KBA. Suatu semangat yang tidak bisa dinilai dengan uang," kata putra ketiga dari enam bersaudara itu.

Sejak disentuh KBA, wajah Tabek berubah total. Kampung kumuh dipenuhi semak berganti menjadi kampung seribu bunga. Pinggiran jalan bercoran semen dengan lebar sekitar 2,5 meter disesaki beragam jenis bunga.

Kasri membagi Jorong Tabek ke dalam 11 zona dan setiap zona membawahi sekitar 40 kepala keluarga. "Dengan zona ini, apa yang kita lakukan itu jadinya serentak dan terarah. Sekarang kampung ini sudah lazim sebut tinggal di zona satu, empat, delapan atau sebelas," katanya.

Di setiap zonasi Jorong Tabek juga dibangun halte yang terbuat dari bambu atau batang aren tak terpakai. Uniknya, halte digunakan untuk bersantai. Ada juga yang memanfaatkannya sebagai tempat berdiskusi melepas lelah sepulang bekerja.

"Itulah bedanya halte di kampung kami dari halte di kota besar. Bahannya tidak dari semen. Tapi memanfaatkan semua batang kayu dan ijuk. Satu halte menghabiskan biaya sampai Rp 3 juta," katanya.

Di Tabek hari ini, tak ada lagi orang yang malu memungut sampah di jalanan. Mereka tak segan menyapu jalan ketika menemukan sampah berserakan. Budaya ini telah menyentuh setiap pribadi masyarakat kampung tersebut.

Rumah Pintar Penjaga Budaya

Oktober 2019, Kasri menerima penghargaan sebagai pegiat kampung iklim (Proklim) daerah berprestasi tingkat nasional dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya. Penghargaan serupa juga diterima Bupati Solok, Gusmal Dt Rajo Lelo, selaku pembina proklim Nagari Talang Babungo, Nagari Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok.

Selain itu, Tabek juga meraih gapura terheboh nasional 2019 dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) 2019. Tak bisa dibantah, capaian beragam prestasi tingkat nasional itu adalah buah dari geliat KBA Tabek.

Hari ini, Tabek tengah merampungkan pembangunan Rumah Pintar bernuansa Minangkabau dan Islami. Sebuah tempat yang dirancang seperti Rumah Panggung berukuran yang dengan panjang 100 meter dengan lebar 5 meter. Pembangunannya sudah dimulai sejak 2018.

"Ini akan menjadi sejarah bahwa geliat membaca warga Tabek sudah meningkat. Sekarang baru 5x20 meter dengan anggaran lebih Rp 200 juta. Pembangunannya dibantu Astra dan terutama dari swadaya masyarakat.

Rumah Pintar Jorong Tabek, Nagari Talang Babungo. [Suara/Riki Chandra]

Rumah Pintar ini akan menjadi wadah semua masyarakat untuk mengekspresikan diri, terutama generasi muda. Dia juga akan membuat beragam spot. Seperi spot edukasi dan spot budaya.

Spot edukasi di dalamnya akan dilengkapi beragam buku ilmu pengetahuan. Kemudian juga akan disajikan berbagai pelatihan yang menyangkut dengan kebudayaan masyarakat.

"Kalau spot budayanya nanti, ada kilangan tebu, panggung tari piring, silek dan sebagainya. Rumah Pintar ini betul-betul menjadi sarana bagi semua masyarakat Tabek untuk kemajuan.

Rumah pintar yang baru berumur dua itu juga menarik wisatawan mancanegara. Jelang pandemi Covid-19 melanda, Tabek dikunjungi wisman dari belasan negara. Ada yang dari Eropa, Timur Tengah dan negara di Asia.

"Sejak jadi KBA, Tabek sudah sering juga dikunjungi wisman. Nah saat Rumah Pintar ini hadir, Tabek makin ramai dikunjungi. Ini karana Covid-19 saja makanya jarang yang datang, karena memang dibatasi," tuturnya.

Membangun Ekonomi Warga

Program KBA tak semata untuk mewujudkan lingkungan bersih. Namun juga memperhatikan bidang pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Sebab, muara dari KBA adalah untuk memandirikan masyarakat di tengah kampungnya sendiri.

MIS Muallimin Tabek satu-satunya sekolah yang di bawah binaan KBA. Kontribusi Astra mulai dari pembangunan MCK, gerbang, perpustakaan, laboratorium komputer, ruangan UKS hingga wastafel.

"KBA menyentuh pendidikan, kesehatan, kewirausahaan dan lingkungan. Bidang pendidikan, KBA Tabek fokus membina MIS Muallimin dan satu unit TK Al-Makmur," katanya.

Program KBA juga mendorong peningkatan ekonomi masyarakat. Menurut Kasri, mayoritas penduduk di sini berladang tebu. Proses pembuatan tebu menjadi gula merah butuh waktu hingga dua hari untuk menghasilkan 100 kilogram gula tebu.

Memangkas proses pengolahan tebu, Astra pun membantu pembuatan unit mesin kilang tebu semi modern yang disalurkan melalui Koperasi Serba Usaha Ekonomi Desa (KSU-ED) Tabek.

Mesin kilangan tebu semi modern juga mendongkrak jumlah produksi petani. Biasanya, sekali mengolah, petani merogoh kocek Rp 80 ribu, namun sekarang hanya perlu mengeluarkan Rp 40 ribu.

Biasanya, satu kilangan hanya mampu menghasilkan 50 kilogram gula tebu. Namun dengan menggunakan mesin itu, sehari bisa menghasilkan 300 kilogram gula tebu.

"Sangat membantu kami. Dari segi tenaga dan pendapatan mesin kilang semi modern ini betul-betul meringankan kami sebagai petani," tuturnya.

Kini, untuk menambah nilai jual gula merah, warga Tabek juga mulai memproduksi gula semut. Mesin pembuat gula semut yang dipersembahan Astra juga telah berproduksi.

Manajer Gula Semut KBA Tabek Yurneli mengatakan, gula semut solusi mengakali peningkatan harga jual gula tebu yang kerap fluktuatif. Selain lebih praktis, cakupan pasar gula semut juga lebih luas.

"20 kilogram sekali masak di dalam mesin. Setelah itu dihaluskan dengan dan dikemas lagi dengan mesin," katanya yang turut mendampingi perbincangan bersama Ketua KBA Tabek, Kasri Satra.

Sejak pandemi Covid-19, kata perempuan 36 tahun itu, produksi gula semut dalam sepekan hanya sekitar 15 kilogram. Biasanya, permintaan gula semut meningkat karena pengunjung ke Tabek ramai.

"Sekarang agak kurang. Kami baru jual ke tamu yang datang. Untuk masuk ke pasar besar menunggu izin yang sedang diproses," katanya.

Menurut Yurneli, harga satu kemasan gula semut berisi 200 gram mencapai Rp 20 ribu. Gula semut ini sangat enak untuk campuran membuat teh telor, kopi dan teh.

Gula semut produksi dari kelompok binaan KBA Tabek. [Suara/Riki Chandra]

Masyarakat Tabek betul-betul telah menuai hasil dari kerja keras Kasri bersama pegiat KBA dan dukungan seluruh lapisan masyarakat. Bahkan, paket-paket wisata home stay di rumah penduduk dan sajian makanan ala kampung pun telah mendatangkan pundi-pundi rupiah kepada warga.

Hari ini, lanjut Kasri, sudah ada 29 rumah dengan 45 kamar yang menyediakan paket home stay. Harganya pun relatif sangat murah. Kamar Kelas A saja dibanderol Rp 170 ribu. Sedangkan Kelas B seharga Rp 120 ribu per malamnya.

"Kalau Kelas A itu pakai air panas, yang B tidak. Murah dan itu diakui pengunjung," katanya.

Namun, pandemi Covid-19 memang menjadi sandungan semua geliat usaha, termasuk Tabek. Apalagi, sejak mewabahnya corona, Pemerintah Kabupaten Solok melarang kunjungan dengan jumlah banyak ke objek-objek wisata.

"Biasanya tamu ke sini sehari itu minimal 400 orang. Sejak pandemi harus dilarang dan hanya boleh 50 persen dari biasa. Penginapan juga sepi. Kadang hanya 4 sampai 5 kamar sebulan," katanya.

Peraih Bintang 5 atau penghargaan tertinggi Astra untuk pegiat KBA yang sudah mandiri ini berharap pandemi corona cepat berlalu. Sehingga Tabek kembali terbuka untuk banyak orang dan roda perekonomian masyarakat menggeliat lagi.

Di sisi lain, Pemkab Kabupaten Solok juga mendukung gerakan KBA Tabek. Apalagi, setiap program yang dicanangkan Kasri dan masyarakat Tabek, telah banyak mengharumkan nama daerah.

Hal itu dibeberkan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Solok, Nasripul Romika. Menurutnya, Pemkab menyokong geliat KBA Tabek dari segi pemberdayaan. Khususnya untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan pariwisata.

"Membentuk kelompok sadar wisata yang memiliki tugas mendorong terciptanya sapta pesona di Jorong Tabek. Tujuan akhirnya tentu bagaimana Tabek jadi destinasi utama dengan konsep kampung asri," katanya.

"Pemda akan mendukung dan semoga Tabek terus berbenah," sambungnya.

Bupati Solok Gusmal Dt Rajo Lelo mengaku bangga dengan geliat Jorong Tabek di Nagari Talang Babungo. "Semoga Tabek tetap fokus mengembangkan diri untuk terus menjadi contoh jorong lain yang bahkan di luar Sumbar," sebutnya.

Load More