SuaraSumbar.id - Paradigma usang masuk polisi harus menyediakan uang ratusan juta dan punya backingan 'orang dalam' masih jadi 'nyanyian' di tengah masyarakat. Informasi tak benar itu pula yang kadang menyurutkan niat anak-anak keluarga kurang mampu untuk mendaftar jadi anggota Polri.
Padahal, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menjamin masuk polisi tidak berbayar alias gratis. Dia tak segan-segan menindak tegas oknum anggota polisi yang menagih biaya tak jelas dalam proses rekruitmen personel Polri. Bagi Sigit, Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi syarat utama jadi polisi.
Transformasi Polri dalam penerimaan anggota baru betul-betul transparan. Kenyataan itu dirasakan betul oleh Hokta Fiondra. Putra Nagari Talang, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat (Sumbar) itu, tak membayar sepeser pun untuk lulus jadi polisi.
Dia resmi menyandang pangkat Bripda pada Juli 2022 lalu, setelah melewati pendidikan di SPN Padang Besi pasca lulus lewat jalur tes Bintara Kompetensi Khusus (Bakomsus) Polri. "Alhamdulillah tidak membayar sedikit pun. Masuk polisi benar-benar gratis," kata Hokta ketika berbincang dengan SuaraSumbar.id, Senin (12/6/2023).
Baca Juga:Resmi! Polda Sumbar Tetapkan Ustaz HEH Jadi Tersangka, Buntut Samakan Muhammadiyah dengan Syiah
Perjuangan pemuda kelahiran 1 Oktober 2022 itu jadi polisi tidaklah mudah. Dia pernah gagal dua kali berturut-turut jadi anggota Polri. Hal itu terjadi di tahun 2020 dan 2021. Langkahnya terhenti di tahapan tes kesehatan.
Bukannya kecewa dan putus asa, polisi 20 tahun justru menambah daya semangatnya untuk terus belajar. Tak saja mengasah kemampuan akademik, Hokta juga melatih fisiknya untuk menyonsong tes tahun selanjutnya. "Saya tak patah semangat. Akhirnya di 2022 saya lulus dengan nilai akademik dan fisik yang termasuk tinggi," katanya.
Kegigihan Hokta dilatarbelakangi kondisi keluarganya yang jauh dari kata mapan. Ibunya hanya seorang pekerja serabutan hingga buruh cuci gosok baju orang. Tekadnya jadi polisi makin bulat sejak sang ayah meninggal dunia. Sebab, mendiang ayahnya pernah berpesan untuk terus sekolah agar kelak hidup lebih baik dari orangtuanya.
"Saya tak menyerah saat dua kali gagal. Hati saya berbisik untuk coba lagi selagi ada kesempatan umur. Saya ingin ibu dan adik-adik melihat saya berhasil jadi polisi. Berkat doa ibu dan izin Tuhan, saya menjadi pencetus anggota Polri di keluarga karena memang tak satu pun keluarga kami polisi," katanya.
Hokta sejatinya telah mempersiapkan diri untuk tes polisi sejak SMP. Saat itu, ia sudah mulai rajin berolahraga dan berlatih bela diri pencak silat. Kemauannya jadi polisi didukung penuh oleh sang ibu. Namun, sejumlah saudara dan tetangganya justru mencibir cita-citanya.
Baca Juga:Kasus Kaburnya Tahanan Polresta Padang, Propam Polda Sumbar Sebut Anggota Lalai
Semua tak terlepas dari latar belakang Hokta yang hanya anak seorang sopir dan pekerja serabutan. Semasa SMP, Hokta membantu ibunya berjualan kue pinukuik dan risoles ke sekolah. "Sudah terbiasa dengan cemoohkan orang-orang, bahkan keluarga sendiri. Akhirnya Tuhan bungkam mereka dengan kelulusan saya jadi polisi," katanya.
Beragam ocehan miring didengar Hokta saat mencoba tes masuk polisi. Ada yang menyebut jadi polisi tak cukup modal 'air liur'. Harus punya uang dan kenalan di tubuh Polri. Sejumlah keluarganya pun menyarankan untuk mencari pekerjaan lain saja ketimbang bermimpi jadi polisi.
"Saat saya gagal, dorongan untuk tidak mencoba tes lagi semakin banyak. Tapi saya tak hiraukan. Yang jelas saya belajar dan berlatih, hasilnya serahkan kepada Allah," bebernya.
Ibunya, Elpida, tak menampik ejekan yang diterima sang anak. Ada yang sampai menghina fisik anaknya dengan menyebut Hokta punya penyakit kulit. Bahkan, gara-gara miskin dan tak punya uang, ada yang tega menyebut Hokta 'gila' bercita-cita jadi polisi.
"Saya cuma bisa mendoakan dan mendorong dia agar tidak hilang semangat. Toh hinaan orang lain tidak membuat kita mati," katanya.
Perempuan 45 tahun itu ternyata tidak tinggal bersama Hokta di Kabupaten Solok. Dia merantau ke Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau sejak 2017 atau setelah ayah Hokta, mendiang Hendra Saputra, meninggal dunia.
Di sana, Elpida juga bekerja serabutan demi menyekolahkan 4 orang anaknya. Mulai dari menjaga warnet, tukang cuci dan gosok, hingga membersihkan kos-kosan sekitar tempat tinggalnya. Saat jauh, ia selalu berkomunikasi dengan Hokta yang tinggal di kampung bersama adik ibunya (adik nenek Hokta).
"Saya menangis haru saat dia mengabari lulus tes polisi tahun lalu. Sebuah kebanggaan bagi seorang buruh cuci gosok, anaknya jadi polisi. Dia lulus murni berkat kegigihannya belajar dan latihan. Tidak mungkin kami bayar ini dan itu, untuk hidup saja susah," katanya.
Nyaris Berhenti Sekolah
Hokta telah ditempa oleh ragam kesedihan sejak kecil. Ia sampai berpindah-pindah Sekolah Dasar (SD) karena kondisi tempat tinggal dan sang ayah yang sakit-sakitan. Paling tidak, ia mengenyam tiga SD berbeda sebelum tamat sekolah. Begitu juga saat SMP. Ia juga tamat setelah satu kali pindah dari SMPN 7 Gunung Talang ke SMPN 5 Gunung Talang.
"Kalau SMK hanya satu sampai tamat. Saya tinggal di rumah keluarga dan pernah juga mengontrak, begitu sampai kini. Kami sering pindah-pindah itu karena tempat tinggal dan kondisi ayah dulu. Ibu belum punya rumah sendiri sampai saat ini," kata lulusan SMKN 1 Gunung Talang itu.
Ayah Hokta sudah sakit-sakitan sejak ia kecil. Sang ayah yang berprofesi sopir truk Sumbar-Jawa menderita penyakit jantung, lever dan komplikasi lainnya. Sering bolak-balik ke rumah sakit hingga akhirnya meninggal dunia saat Hokta hendak masuk SMK. "Almarhum ayah meninggal pas waktu saya mau ujian kelas 3 SMP. Tentu kami begitu terpukul," katanya.
Setelah ayahnya tiada, Hokta sempat ingin berhenti sekolah. Pikiran itu terlintas karena melihat kondisi ibunya yang makin susah menghidupinya bersama tiga orang adiknya. Namun, dorongan ibunya untuk melanjutkan sekolah akhirnya mematahkan niatnya untuk mengakhiri pendidikan.
"Satu dorongan terkuat adalah pesan ayah. Beliau ingin saya jadi pegawai negeri dan akhirnya saya jadi polisi," tutur Hokta dengan mata berkaca-kaca.
Setelah tak jadi putus sekolah, Hokta tinggal bersama adik neneknya di kampung halaman. Sedangkan ibu bersama tiga adiknya pergi mencari pekerjaan ke tempat familinya di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan. "Sempat ibu jadi buruh sawah juga beberapa bulan, tapi tak sanggup dan memilih kerja serabutan di sana (Pangkalan Kerinci). Kalau di kampung, kami tak punya sawah sendiri juga," katanya.
Segala keterbatasan itu tidak menjadikan Hokta minder untuk berjuang masuk polisi. Semangat justru semakin menggebu-gebu demi mengangkat derajat orangtuanya. Akhirnya, Hokta bisa membuktikan bahwa anggapan masuk polisi harus bayar ini dan itu atau pakai orang dalam adalah pandangan keliru. Baginya, syarat utama mencapai tujuan adalah belajar dan berlatih.
Saat dua kali gagal tes polisi, Hokta mencari hidup dengan jadi buruh sawah hingga jadi tukang ojek. Namun, ia tetap belajar dan berlatih untuk mencoba kembali tes selanjutnya yang akhirnya mengantarkan Hokta jadi polisi.
Atas capaiannya itu, Hokta mengajak anak-anak muda yang ingin jadi polisi tapi keluarganya kurang mampu, untuk terus semangat. Jangan dengarkan ocehan orang lain dan teruslah berjuang mengejar cita-cita. "Jadi polisi itu gratis. Yang penting belajar, berlatih dan berdoa," katanya.
Di sisi lain, ibunda Hokta, Elpida, berharap anaknya menjadi polisi jujur, patuh dan baik. Kemudian, dia berharap anaknya tetap menjaga ibadahnya dan tidak sombong. "Jadi polisi tak bayar karena Polri baik. Maka jadilah polisi baik," kata sang ibu.
BETAH yang Nyata
Cerita tentang anak keluarga kurang mampu lulus polisi tanpa bayar sebetulnya sudah ada di seluruh wilayah Indonesia. Namun, masih saja ada anggapan miring dari masyarakat. Semua terjadi karena ulah oknum tak bertanggungjawab yang mencoreng nama institusi Polri.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa anggapan berbayar masuk polisi adalah cerita bohong. Sebab, tes polisi murni dari kemampuan SDM dan tanpa berbayar. Bahkan, untuk mendaftar jadi anggota polisi pun kini lebih mudah. Calon anggota cukup mendaftar online melalui situs Penerimaanpolri.go.id.
Tahun ini, Polri kembali menerimac calon anggota baru secara terpadu. Mulai dari calon Taruna Akpol, Bintara hingga Tamtama. Semua pendaftaran pun dilakukan secara online dengan prinsip Bersih, Transparan, Akuntabel dan Humanis (BETAH).
Kepala Biro SDM Polda Sumbar Kombes Pol Sonny Mulvianto Utomo mengatakan, Polri menjamin rekruitmen bersih tanpa penyimpangan. Hal itu terlihat dari semua proses seleksi yang transparan dan diawasi oleh pihak internal dan eksternal. "Peserta langsung tahu nilainya selesai tes," katanya.
Menurut Ketua Pelaksana Penerimaan Polri di Polda Sumbar itu, Polri berkomitmen mencari personel dengan SDM berkualitas. Namun, masih saja ada orangtua dan masyarakat yang tidak percaya diri untuk memacu anak-anaknya belajar mempersiapkan diri sebaik mungkin. Mereka kadang masih terjebat informasi iming-iming masuk polisi berbayar di tengah keterbukaan sistem rekruitmen.
"Dengan prinsip BETAH ini, tidak mungkin panitia bisa meloloskan calon yang nilainya rendah atau menggagalkan calon dengan nilai tinggi. Semuanya terbuka dan bisa dilihat masing-masing langsung," katanya.
Selain itu, kata Sonny, untuk memastikan penerimaan polisi bersih tanpa pungutan biaya, Polri telah membuka layanan pengaduan atau hotline terpusat di Mabes Polri. Bagi calon anggota yang merasa dirugikan, silahkan langsung hubungan nomor 081378439918 (khusus Polda Sumbar) yang tersambung ke Mabes Polri.
"Penerimaan Polri bersih. Mari laporkan yang jika ada oknum yang memberikan iming-iming kelulusan," himbaunya.