SuaraSumbar.id - Menikah dalam budaya Minangkabau harus berlandaskan syariat Islam. Hal itu selaras dengan falsafat hidup orang Minang, yakni Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Atas dasar itu, setiap pasangan suami-istri harus meyakini bahwa perjodohan dan pernikahan adalah sebuah takdir dari Allah SWT.
Konsep dan tata cara adat pernikahan itu disampaikan Ketua Bundo Kanduang Sumatera Barat (Sumbar), Puti Reno Raudha Thaib, dalam kegiatan Bimtek peningkatan kapasitas pemangku adat dengan tema "Baliakan Siriah Ka Gagangnyo, Pulangkan Pinang Ka Tampuaknyo" di Bukittinggi, Senin-Rabu (27/2-1/3/2023).
"Manusia diberikan dua modal dasar dalam merawat perjalanan rumah tangga, yakni kesabaran dan keikhlasan. Yang harus dipahami, pernikahan yang diridoi itu tujuannya untuk menundukkan pandangan mata, membentengi kemaluan dan mempererat silaturahmi," katanya.
Menurut Bundo Puti Reno, pernikahan harus dilandasi niat dan dasar karena Tuhan. Bukan demi penghormatan dan pujian orang lain atas status keluarga. Pernikahan juga bukan demi kekayaan dan sebagainya. "Kita harus terus memperbaiki niat dalam berumah tangga untuk mencari rido ilahi," katanya.
Dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal, setiap laki-laki dan perempuan punya dua keluarga; keluarga kaumnya dan keluarga inti (akibat pernikahan). Atas dasar itu, konsep pernikahan dalam adat Minangkabau adalah ukhuwah atau persaudaraan. Sederhananya, si A nikah dengan B dan kaum si A kawin dengan kaum si B.
Sebelum melakukan ijab dan qobul, pernikahan di Minangkabau didahului dengan prosesi maresek atau marosok atau manapuak bandua. Setelah itu meminang hingga batimbang tando menentukan hari pernikahan. Kemudian prosesi babako, malam bainai dan balimau bagi calon anak daro (pengantin wanita) hingga batagak gala calon marapulai (pengantin pria) serta menjemput marapulai untuk ijab qobul.
"Adat dan agama meletakkan prosesi pernikahan demi membangun tali silaturrahmi dengan konsep kesetaraan. Kemudian, saling menghargai dari kedua belah pihak yang disambungkan oleh tali nasab (ayah) dan tali rahim (ibu)," katanya.
Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, Syaifullah mengatakan, masyarakat Minangkabau dikenal majemuk. Hal itu dibuktikan dari aneka ragam ritual adat dan tradisi yang dilaksanakan dan dilestarikan oleh masing-masing pendukungnya. Perbedaan itu selaras dengan ungkapan adat "Lain lubuak lain ikannyo, lain padang lain bilalangnyo, lain nagari lain adaiknyo”.
"Setiap daerah memiliki kebiasaan yang berbeda, termasuk dalam melaksanakan tradisi dalam masyarakat. Minangkabau punya banyak keunikan budaya sebagai identitas diri. Salah satu keunikan itu adalah sistem matrilineal dalam pewarisan suku, harta pusaka, dan gelar kebesaran adat," katanya memaparkan sambutan Gubernur Sumbar Mahyeldi.
Baca Juga:Jelaskan Soal UU Provinsi Sumbar Terkait Filosofi ABS-SBK, Anggota DPR RI: Jangan Mau Diprovokasi
Menurutnya, kearifan lokal Minangkabau begitu nyata dari pola hidup yang menjujung tinggi adat dan agama. Hal itu tergambar dalam falasafah “Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)”. "Ini identitas masyarakat Minang yang harus terus dijaga dari generasi ke generasi," katanya.
Menurut Syaifullah, kegiatan peningkatan adat ini selaras dengan misi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar untuk mewujudkan tata kehidupan sosial kemasyarakatan berdasarkan ABS-SBK. Kegiatan ini salah satu penopang program unggulan (progul) Sumbar 2021-2026 bertema “Sumbar Religius dan Berbudaya”.
"Pemprov Sumbar melalui Dinas Kebudayaan mengambil peran dalam menjaga agar pemahaman
nilai-nilai ABS-SBK terus terjaga dari generasi ke generasi," katanya.
Sementara itu, Kabid Sejarah Adat dan Nilai-nilai Tradisi Dinas Kebudayaan Sumbar, Fadhli Junaidi mengatakan, kegiatan bimtek ini diikuti sebanyak 60 orang. Seluruhnya merupakan Ketua Bundo Kabupaten/Kota di Sumbar dan juga pegiat usaha pelaminan dan Himpunan Pembawa Acara Pernikahan Indonesia (HIPAPI).