Merajut Asa dari Kursi Roda

Kisah Silvia, seorang perempuan yang sudah 21 tahun hidup di atas kursi roda.

Riki Chandra
Selasa, 29 November 2022 | 05:25 WIB
Merajut Asa dari Kursi Roda
Silvia Piobang saat memotret tas hasil rajutannya untuk dipromosikan di media sosial. [Suara.com/Riki Chandra]

Silvia pun menekuni dunia merajut. Dia bergabung dengan sejumlah komunitas merajut di Kota Padang. Belajar lewat online melalui grup-grup Facebook hingga mengikuti kegiatan UMKM di kelurahan. Ide-idenya membuat produk rajutan makin berkembang.

"Awal-awal dulu, saya bikin sarung handphone, sarung galon hingga kotak tisu. Harganya mulai dari Rp 5 ribu," katanya.

Hasil rajutan Silvia dipromosikan ibunya saat pergi ke pengajian. Secara berangsur, banyak yang memesan hingga Silvia merasakan berkah hasil berjualan karya rajutannya sendiri.

Akhirnya berdiri "Silvia Piobang Handycraft". Merek usahanya diambil dari namanya sendiri dengan nama kampung halamannya; Nagari Piobang yang berada di Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Merek dagang Silvia juga telah dipatenkan dan terdaftar sebagai Hak kekayaan intelektual (HKI) di Kemenkumham RI sejak 2020 lalu.

Baca Juga:Realisasi PAD Agam Capai Rp 126,65 Miliar

Silvia Piobang Handycraft menyediakan ragam produk rajutan. Mulai dari tas, sepatu, sendal, peci dan aksesoris lainnya. Semua produksi itu merupakan hasil jahitan tangan Silvia. "Tiap hari. Kadang di kamar, kadang di luar. Pokoknya produksi jalan terus," katanya.

Merajut kini tak sebatas hobi, tetapi menjadi tumpuan utama kehidupan Silvia dan ibunya. Harga produksi rajutannya tergantung ukuran dan tingkat kesulitan. Tas yang paling murah dijual Rp 90 ribu. Ada juga yang harganya ratusan ribu, apalagi sepatu dan sandal.

"Ini pemasukan utama saya satu-satunya. Ibu tidak bekerja lagi," katanya.

Usaha rajutan Silvia mulai kembali menggeliat sejak 5 bulan terakhir. Sejak September 2021, dia tidak memproduksi lantaran permintaan pembeli tidak ada.

"Tahun pertengahan pandemi Covid-19 itu benar-benar tidak ada penjualan. Produksi pun saya hentikan. Alhamdulillah sekarang pelanggan lama sudah belanja lagi. Paling tidak, omzet sekitar Rp 3 juta sebulan. Cukuplah buat hidup saya dan ibu," tuturnya.

Baca Juga:Tekan Inflasi, Pemkab Agam Gelar Pasar Murah, 6.400 Paket Disediakan

Awal pandemi Covid-19 melanda, usaha rajutannya sempat beromzet hingga Rp 8 juta sebulan. Kebetulan saat itu orang-orang, terutama perempuan butuh strap masker dengan jumlah yang banyak. "Alhamdulillah. Kehidupan saya dan ibu berlanjut berkat hasil rajutan," katanya.

Berbagi Ilmu dan Memotivasi

Selain merintis usaha, Silvia juga aktif berbagi ilmu merajut gratis kepada teman-temannya sesama penyandang disabilitas. Dia juga menyalurkan donasi dari berbagai pihak kepada rekan-rekannya yang kesulitan ekonomi di masa pandemi Covid-19.

Gagasan Silvia berbagi ilmu menjahit kepada penyandang disabilitas muncul saat badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melanda di tengah pandemi Covid-19. "Banyak kawan-kawan yang jadi karyawan kedai kena PHK. Lahirlah ide saya untuk mengajak mereka belajar merajut. Saat saya tawarkan, ternyata banyak yang berminat," kata Silvia yang juga salah seorang Pengurus Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI Sumbar) dan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI Padang) itu.

Para penyandang disabilitas yang berminat diminta datang ke rumah. Orang tua anak-anak berkebutuhan khusus itu pun juga diperbolehkan belajar merajut. "Saya kasih benang dan bahan. Semuanya gratis. Kebetulan saya juga dapat bantuan pemerintah, jadi stoknya lumayan banyak," kata atlet atletik yang berlaga di ajang Peparnas 2021 lalu di Papua.

Silvia mengaku memberikan semua ilmu merajutnya kepada para disabilitas yang mau belajar. Baginya, tidak ada yang perlu disembunyikan dalam hal merajut. "Kalau pun bahannya sama, motifnya sama, hasil rajutannya pasti akan berbeda. Tidak perlu khawatir dan malas berbagi ilmu," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini