SuaraSumbar.id - DPRD Sumatera Barat membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki dugaan penyelewengan dana Covid-19 Sumbar tahun 2020. Hal ini mencuat setelah adanya temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Wakil Ketua Pansus DPRD Sumbar, Novrizon mengatakan, dugaan penyelewengan itu berkaitan dengan pengadaan cairan pembersih tangan atau handzanitizer.
Menurut Novrizon, dari temuan LHP BPK, dana tersebut diberikan ke Pemprov Sumbar sebesar Rp 160 miliar di tahun 2020 untuk penanganan Covid-19. Dari temuan BPK, ada indikasi penyelewengan sekitar Rp 49 miliar.
Novrizon membocorkan bahwa perusahaan rekanan yang mendapatkan proyek tersebut membuat batik. Namun, malah mengadakan handzanitizer. Pihaknya menemukan kejanggalan soal harga handsanitizer yang mencapai Rp 35 ribu per botolnya.
Baca Juga:BPK Bongkar Dua Indikasi Penyelewengan Dana Covid-19 Sumbar
"Anggaran tidak sedikit yang digunakan, bahkan banyak dibayar tunai hingga berjumlah miliaran. Dalam pengadaan handzanitizer itu, terjadi pemahalan harga," tuturnya.
Menanggapi kisruh tersebut, perusahaan Batik Tanah Liek mengklaim pihaknya tidak pernah memberikan fee kepada istri Kepala Dinas BPBD Sumbar yang disebut-sebut terlibat dalam pengadaan handsanitizer itu.
"Pandemi tahun 2020 lalu, pembelian alat kesehatan itu melalui broker karena di saat itu sangat darurat dan susah mendapatkan masker ataupun handsanitizer. Kami tidak pernah memberikan fee," kata Owner Batik Tanah Liek, Yori Oktorino kepada wartawan, Kamis (25/2/2021).
Dia mengakui, perusahaannya, CV Batik Tanah Liek memberikan penawaran kepada BPBD Sumbar untuk pengadaan handsanitizer. Setelah penawaran, pihaknya kembali dipanggil BPBD dan menyanggupi untuk menyediakan sebanyak 25.000 handsanitizer.
"Kami mengambil alkes tersebut melalui broker, bukan dari istri BPBD Sumbar. Makanya harganya segitu," katanya.
Baca Juga:Bantahan BPBD Sumbar Soal Dugaan Penyelewengan Dana Covid-19
Dalam pengadaan ini, kata Yori, CV Batik Tanah Liek juga memiliki izin untuk menjadi penyedia alat kesehatan dan pihaknya pun tidak pernah meracik hansanitizer.
Selain itu, soal faktur harga juga sudah diserahkan dan diperiksa BPK. Di faktur tersebut, harga yang ditawarkan mencapai Rp 27.000 per botolnya.
"Dari harga itu, kami hanya sebagai penjual dan mendapat untung. Namun untuk nominal saya tidak bisa menyebutkan," katanya.
"Satu lagi, kami tidak pernah mendapat proyek dari ibu (istri Kepala BPBD Sumbar, Erman Rahman). Kami punya NIB-nya, di KBLI itu ada tertera untuk penggadaan alat kesehatan, laboratorium dan kedokteran," tutupnya.
Sebelumnya, Kepala BPBD Sumbar, Erman Rahman, membantah terjadi penyelewengan dana Covid-19 tersebut.
"Tidak ada penyimpangan, soal indikasi oleh Pansus DPRD itu sudah tertulis dan kegunaannya sudah jelas. Di Buku Kas Umum (BKU) sudah ada rinciannya," kata Erman Rahman, dikutip dari Covesia.com - jaringa Suara.com, Rabu (24/2/2021).
Erman mengatakan, jika Pansus DPRD Sumbar mengindikasikan sebesar Rp 49 miliar, tentu ditemukan kerugian negara dan berarti harus dikembalikan.
"LHP sudah keluar, itu cuma klarifikasi, itu bisa dilihat penggunaan 49 miliar itu," katanya.
"Dalam keadaan extraordiniary atau luar biasa itu kan kita tidak diatur secara resmi dan SOP serta petunjuk teknis tak ada. Kita disuruh bekerja dan menyiapkan. Ini kita lakukan," sambungnya lagi.
Untuk yang sudah ditemukan LHP BPK senilai Rp 4,9 miliar tentang adanya kenaikan harga barang, Erman menilai wajar. Sebab waktu itu barang sangat sulit dan permintaan tinggi.
"Yang kami terima itu untuk Covid-19 Rp 150 miliar, termasuk untuk karantina. BKU merupakan bukti pengeluaran untuk apa saja uang itu digunakan," katanya.
Erman mengatakan akan menunggu rekomendasi dari Pansus DPRD Sumbar sedang berjalan.
Kontributor : B Rahmat