-
Polri evaluasi kebutuhan helikopter Sumbar untuk respons cepat penanganan bencana.
-
DVI percepat identifikasi korban dengan metode sidik jari dan DNA.
-
Polri selidiki dugaan pembalakan liar terkait kayu gelondongan hanyut.
SuaraSumbar.id - Mabes Polri mengevaluasi seluruh kebutuhan sarana udara Polda Sumatera Barat (Sumbar) pasca wilayah tersebut dilanda bencana banjir, banjir bandang hingga tanah longsor.
Pasalnya, Polda Sumbar tidak lagi memiliki helikopter operasional sejak kecelakaan helikopter di Sitinjau Lauik pada tahun 2005 lalu.
Wakapolri Komjen Pol Dedi Prasetyo, mengatakan bahwa keterbatasan armada helikopter menjadi perhatian utama Polri dalam mendukung penanganan bencana di Sumatera.
Selama ini, Sumbar memperoleh dukungan helikopter dari Polda Riau. Namun, pola ini dinilai kurang efektif mengingat luasnya wilayah dan tingginya potensi bencana.
“Ini menjadi evaluasi kami karena jumlah helikopter terbatas dan kami sebar di pulau-pulau besar. Untuk Sumbar dibackup dari Polda Riau, tetapi melihat data yang ada, wilayah Sumbar, Sumut, dan Aceh harus memiliki helikopter sendiri,” katanya saat meninjau layanan medis di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sumbar, Kamis (4/12/2025).
Saat ini, kata Jenderal Bintang Tiga itu, hanya terdapat tiga helikopter Polri yang ditempatkan di Aceh, Riau, dan Lampung. Dua di antaranya berfungsi untuk pengangkutan logistik, sedangkan satu unit di Lampung hanya digunakan sebagai sarana pemantauan udara.
Untuk memperkuat respons kebencanaan, Sumbar dinilai membutuhkan helikopter berkapasitas besar seperti AW 189.
“Sumbar membutuhkan helikopter besar yang dapat mengangkut logistik secara cepat apabila terjadi bencana,” tegasnya.
Selain menyoroti dukungan sarana udara, Wakapolri juga mengungkapkan bahwa Polri membentuk tim khusus untuk mendalami dugaan praktik pembalakan liar di Sumbar.
"Temuan kayu gelondongan yang hanyut hingga ke kawasan pantai menjadi indikasi kuat adanya aktivitas ilegal di hulu. Bareskrim sudah membentuk tim dan akan berkolaborasi dengan Polda Sumbar,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Komjen Pol Dedi Prasetyo menginstruksikan tim Disaster Victim Identification (DVI) bekerja cepat mengidentifikasi korban bencana.
Pengalaman saat menangani bencana di Palu menjadi acuan bahwa proses identifikasi tak boleh berlarut.
“Identifikasi jenazah harus segera dilakukan. Jika terlalu lama, kondisi jenazah semakin tidak baik,” katanya.
Dedi menjelaskan, metode identifikasi melalui sidik jari menjadi langkah tercepat dengan akurasi mencapai 99 persen. Jika sidik jari tidak dapat digunakan, proses dilanjutkan dengan pemeriksaan DNA.
Laboratorium DNA milik Polri di Jakarta disebut cukup cepat menghasilkan laporan, yakni dalam waktu sekitar tiga hari.