Bolehkah Donor Jenazah ke Rumah Sakit Pendidikan? Ini Fatwa MUI

Islam sejak awal tidak menutup diri terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, termasuk bidang kedokteran.

Riki Chandra
Kamis, 18 September 2025 | 14:18 WIB
Bolehkah Donor Jenazah ke Rumah Sakit Pendidikan? Ini Fatwa MUI
Ilustrasi mayat. (unsplash/john hendrick)

SuaraSumbar.id - Islam sejak awal tidak menutup diri terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, termasuk bidang kedokteran. Salah satu isu yang kini ramai dibicarakan adalah soal hukum mendonorkan jenazah untuk keperluan pendidikan kedokteran di Teaching Hospital atau Rumah Sakit Pendidikan.

Isu ini penting mengingat ilmu anatomi tidak bisa hanya dipelajari secara teori, tetapi memerlukan praktik langsung melalui pengamatan tubuh manusia, baik dalam kondisi hidup maupun setelah meninggal.

Pertanyaan muncul, bagaimana hukumnya mendonorkan jenazah untuk penelitian dan pembelajaran? Islam menekankan penghormatan kepada manusia, baik ketika hidup maupun setelah meninggal.
Allah berfirman dalam Q.S. al-Isra’ [17]: 70:

“Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, Kami angkut mereka di darat dan di laut, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

Nabi Muhammad Saw juga bersabda:

“Mematahkan tulang orang mati itu sama seperti mematahkannya ketika hidup.” (H.R. Abu Dawud, no. 2792).

Atas dasar itu, syariat mengajarkan agar jenazah diperlakukan dengan penuh kehormatan, seperti dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dikuburkan.

Mengutip ulasan website Muhammadiyah, dalam kedokteran, kadaver adalah mayat manusia yang diawetkan untuk keperluan penelitian. Tidak ada media lain yang mampu menggantikan tubuh manusia dalam pembelajaran anatomi.

Kadaver biasanya diperoleh dari dua sumber: jenazah yang tidak teridentifikasi atau tidak diurus keluarganya, dan wasiat seseorang yang rela mendonorkan jenazahnya setelah meninggal.

Di sinilah perdebatan muncul. Yusuf al-Qaradawi membolehkan seorang muslim mewasiatkan tubuh atau organ tubuhnya untuk kepentingan penelitian dan pengobatan. Ia menegaskan:

“Tidak ada dalil syar‘i yang mengharamkannya. Hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil sahih yang melarangnya.”

Imam Abu Hanifah menekankan bahwa mayat tidak boleh diperlakukan sebagai “harta” sehingga haram diperjualbelikan. Penggunaan kadaver hanya bisa dibenarkan dalam kerangka ilmu pengetahuan dan kemaslahatan, bukan untuk tujuan komersial.

Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa No. 12 Tahun 2007 memperjelas hukum ini. Penggunaan jenazah untuk penelitian kedokteran diperbolehkan dengan syarat: tujuan penelitian untuk kemaslahatan umum (hifz al-nafs), hak-hak jenazah dipenuhi terlebih dahulu, penggunaan sebatas kebutuhan (al-dharurah tuqaddaru biqadariha), jenazah segera dikuburkan dengan layak setelah penelitian, serta adanya izin dari almarhum (melalui wasiat), ahli waris, atau pemerintah.

Prinsip fikih seperti al-dharurah tubihu al-mahdhurat (kondisi darurat membolehkan yang terlarang) dan al-maslahah al-‘ammah muqaddamah ‘ala al-maslahah al-khasah (kemaslahatan umum lebih diutamakan) menjadi dasar kebolehan tersebut.

Berdasarkan dalil, pandangan ulama, dan fatwa MUI, mendonorkan jenazah untuk kepentingan pendidikan kedokteran di Teaching Hospital hukumnya boleh. Catatannya, harus ada wasiat dari almarhum atau izin ahli waris, hak-hak jenazah harus dipenuhi, dan penggunaannya dibatasi sesuai kebutuhan.

Dengan demikian, pemanfaatan jenazah sebagai sarana belajar memiliki maslahat yang lebih besar untuk keselamatan pasien di masa depan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini