SuaraSumbar.id - Sehari jelang perayaan Tahun Baru Imlek 2574/2023, kawasan Pondok di Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar), begitu memesona. Lampion-lampion atau tenglong merah menyala. Menghiasi hampir setiap sudut jalan di sepanjang kampung Cina itu.
Lebih-lebih di sekitar area Kelenteng See Hin Kiong. Silih berganti warga berfoto dan mengitari tempat beribadah etnis Tionghoa itu. Tak hanya keturunan Cina, warga muslim pun berbondong-bondong menyambangi kelenteng tertua di Ranah Minang itu.
"Ini pertama kali saya ke sini untuk berfoto di dalam kelenteng. Dulu saya kira hanya orang-orang Cina saja yang boleh, ternyata tidak," kata Wulan Novita, salah seorang mahasiswi di Kota Padang, Sabtu sore, (21/1/2023) lalu.
Gadis 23 tahun itu datang ke pecinan Padang karena diajak kakaknya untuk menonton atraksi barongsai di Kelenteng See Hin Kiong yang akan dimulai malam hari. Dia begitu senang bisa berfoto di depan kelenteng. "Kayak tempat wisata klasik walaupun sebenarnya itu tempat beribadah etnis Tionghoa," kata mahasiswi berjilbab itu.
Baca Juga:Kasus Curanmor di Padang, Hasil Curian Dijual ke Pertambangan dan Perkebunan
Bagi Wulan, tidak ada yang aneh berada di tengah orang-orang Cina di Pondok Padang. Apalagi mereka semua pandai berbahasa Minang. "Saya tadi ngobrol sama ibu-ibu di depan pagar, tanya-tanya soal kelenteng. Saya awalnya pakai bahasa Indonesia, tau-taunya ibu itu berbahasa Minang," katanya sembari terkekeh.
Pengunjung lainnya, Rika Sariyenti (35) mengatakan, Kelenteng See Hin Kiong memang menjadi tempat paling menarik dan banyak dikunjungi, terutama menjelang Tahun Baru Imlek. Sebab, suasananya begitu indah saat senja menjelang. Dia sendiri sudah berulangkali datang ke kelenteng membawa sanak keluarganya dari kampung.
"Saya hampir tiap tahun ke sini. Kalau ada family datang dan lagi Imlek, pasti saya ajak ke sini. Tidak pernah bosan," kata warga Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang itu.
Sore itu, area Kelenteng See Hin Kiong memang cukup padat pengunjung. Hilir-mudik manusia mengitari sudut kelenteng yang sudah dihiasi ratusan tenglong. Selain warga etnis Cina, perempuan-perempuan berjilbab juga mendominasi tempat beribah umat Konghucu dan Budha itu. Ada yang berfoto dekat lilin hingga hio atau dupa. Sebagian lainnya berfoto di dekat baliho Kelinci di dinding pinggir halaman kelenteng.
Selesai shalat magrib, Kelenteng See Hin Kiong makin dipenuhi pengunjung. Lalu lintas di jalanan depan kelenteng pun mulai padat merayap. Ratusan sepeda motor berjejer di depan pagar bagian luar kelenteng. Kondisi itu memperkecil ruas jalan di depan gedung Himpunan Bersatu Teguh (HBT).
Baca Juga:Ungkap Kasus Curanmor di Padang, Polisi Amankan 20 Sepeda Motor dan Satu Unit Pikap
"Malam ini ada pertunjukan barongsai perdana di sini (kelenteng) dalam rangka menyambut Imlek 2023. Makanya sudah ramai dan padat," kata salah seorang pekerja bersih-bersih Kelenteng, Ramli.
Sejatinya, lelaki 61 tahun itu sudah pulang sejak pukul 17.00 WIB, seperti hari-hari biasanya. Namun, sejak 5 lima hari jelang perayaan Tahun Imlek 2574 yang jatuh pada hari Minggu (22/2/2023), ayah tujuh orang anak itu terpaksa bekerja hingga larut malam.
"Tugas saya di sini hanya bersih-bersih bagian dalam dan luar ruangan. Kalau untuk kebutuhan perapian berdoa, itu ada lagi petugasnya," katanya.
Ramli berdarah campuran Nias dan Tionghoa. Ia memeluk agama Islam dan fasih berbahasa Minang. Menurutnya, hampir setiap waktu orang-orang warga Minang di Padang, maupun luar Padang datang berkunjung ke kelenteng. Mereka datang untuk berswafoto di area kelenteng.
"Kalau mau Imlek itu ramai sekali. Semuanya berbaur. Tidak ada yang membeda-bedakan. Saya pun pekerja Muslim di sini juga diperlakukan baik oleh pengurus kelenteng," katanya.
Sekitar pukul 20.15 WIB, Kelenteng See Hin Kiong makin sesak pengunjung. Ratusan orang berdesak-desakan berdiri hingga ke pagar. Tak sedikit pula yang rela duduk di atas pagar kelenteng demi menyaksikan ragam pertunjukan kesenian khas Tionghoa. Sorak-sorai kebahagiaan menggema dari dalam kelenteng.
Dari pantauan SuaraSumbar.id, mereka yang berdesakan di dalam kelenteng berasal dari berbagai etnis dan agama. Semua terlihat dari warna kulit hingga pakaian yang digunakan. Selain warga etnis Tionghoa, perempuan-perempuan berjilbab juga meramaikan pesta menyambut Tahun Baru Imlek itu.
Menariknya, ciloteh dari sudut ke sudut kelenteng tetap berbahasa Minang. Hanya sesekali terdengar percakapan berbahasa Cina ketika warga keturunan itu mengobrol sesama mereka.
Sebuah tarian tradisi Cina mengiring kemeriahan malam itu. Tarian itu dibawakan oleh 4 perempuan cantik berpakaian khas Tionghoa. Mereka menari menggunakan selendang di tengah anak-anak dan orang dewasa yang mengitarinya. Momentum keakraban antar etnis betul-betul terasa dalam pertunjukan kesenian itu. Di tengah antusiasme masyarakat, banyak juga yang sibuk mengabadikan momen lewat telepon pintar.
Setelahnya, satu persatu barongsai hingga pertunjukan naga muncul menghibur pengunjung. Barongsai merupakan tarian tradisional asal Cina menggunakan sarung menyerupai singa yang sudah dikenal luas masyarakat dunia. Paling tidak, ada tiga kali atraksi berlangsung dengan warna barongsai berbeda hingga 22.35 WIB malam itu.
Di tengah keriuhan pesta atraksi budaya Tionghoa, pengunjung bernama Wulan Novita mengerang kesakitan. Ibu jari kakinya tertimpa papan karangan bunga yang berjejer di bagian luar pagar Kelenteng See Hin Kiong. Semua terjadi lantaran sebagian pengunjung berdesakan naik ke atas pagar hingga menyenggol papan karangan bunga sampai terjatuh.
"Pertama melihat barongsai, kuku kaki saya copot. Tapi tahun depan saya akan lihat lagi," katanya seminggu setelah kejadian dan menjalani operasi ringan.
Cap Go Meh Berbaur dengan Kearifan Lokal
Dalam catatan sejarah, kemeriahan Imlek dan kebebasan perayaan Cap Go Meh di Tanah Air tidak terlepas dari peran Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang dijuluki "Bapak Tionghoa Indonesia". Dialah tokoh yang menyelesaikan konflik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di republik ini.
Lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur memberikan kebebasan etnis Tionghoa untuk merayakan Imlek secara terbuka. Setelahnya, di tahun 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menjadikan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional hingga saat ini.
Warga Tionghoa biasanya membersihkan rumah-rumah mereka saat menyambut Imlek. Kemudian, mereka berziarah ke makam orang tua yang telah meninggal hingga menyambangi rumah kerabat dan kawan lama. Hakikat Tahun Baru Imlek bagi etnis Tionghoa merupakan silaturahmi yang menandai pergantian musim di tahun Lunar. Mereka juga berkumpul bersama keluarga besar hingga berharap kehidupan kian membaik dari tahun-tahun sebelumnya.
Puncak perayaan Imlek diakhiri dengan Festival Cap Go Meh pada hari Minggu (5/2/2023). Pesta keberagaman ini menjadi kejutan bagi masyarakat Sumbar, khususnya di Kota Padang. Pasalnya, ini kali pertama Cap Go Meh kembali digelar meriah setelah pandemi Covid-19 melanda Indonesia sejak Maret 2020 silam.
"Festival Cap Go Meh ini perdana digelar kembali setelah pandemi Covid-19. Saya senang sekali menyaksikan antusiasme masyarakat," kata tokoh Tionghoa Sumbar, Albert Hendra Lukman kepada SuaraSumbar.id, Senin (27/2/2023).
Penasehat Panitia Festival Cap Go Meh 2023 itu mengatakan, festival bertema "Cap Go Meh adalah Kita" itu, tidak saja mengeksplor kebudayaan Tionghoa. Beragam seni tradisi Nusantara juga disajikan dalam pertunjukan yang melibatkan sekitar 3.000 orang itu. Ada Fire Dance dari Bali, Reog Singo Budoyo dari Dharmasyara, hingga pertunjukan randai khas Minangkabau.
Seluruh komunitas Tionghoa di Padang ambil bagian dalam kegiatan kebudayaan itu. Mulai dari perkumpulan sosial Himpunan Bersatu Teguh (HBT), Himpunan Tjinta Teman (HTT), PSKP Santo Yusuf hingga Ji Se atau sembilan perkumpulan, ambil bagian dalam festival Cap Go Meh. Puncak atraksinya adalah pertunjukan arak-arakan sipasan dari Jembatan Siti Nurbaya hingga ke Kota Tua. Semua atraksinya sukses terselenggara.
"Festival Cap Go Meh ini merupakan salah satu iven yang tercatat dalam kalender wisata Sumbar. Kegiatannya berlangsung berkat kerjasama dengan Pemprov Sumbar," katanya.
Anggota DPRD Sumbar itu mengaku bangga melihat antusiasme ribuan orang yang hadir menyaksikan puncak perayaan Imlek. Menurutnya, Cap Go Meh sudah menjadi daya tarik wisata di Kota Padang yang mengundang decak kagum warga di luar Sumbar.
Albert menegaskan bahwa festival Cap Go Meh hanyalah pertunjukan budaya yang telah berbaur dengan kearifan lokal. Atas dasar itulah berbagai seni tradisi Tionghoa berkolaborasi dengan kebudayaan asli Minangkabau dalam sebuah pertunjukan massal. "Festival Cap Go Meh bukan tentang kepercayaan, tapi soal kebudayaan. Bagaimana kita di Sumbar yang bercampur dari berbagai etnis menyatu dalam keberagaman ini," katanya.
Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan, komunitias Tionghoa yang menjadi bagian dari NKRI, ingin berkontribusi pula terhadap kemajuan daerah Kota Padang dan Sumbar. Dia meyakini Cap Go Meh akan menjadi daya tarik wisata baru bagu masyarakat karena 'menjual' keragaman kebudayaan dan sejarah.
"Kami ingin berkontribusi pula untuk daerah tempat kami tinggal lewat kemajemukan budaya ini. Semoga Cap Go Meh selanjutnya makin diminati," katanya.
Sementara itu, Wakil Gubernur Sumbar, Audy Joinaldi mengaku bangga sekaligus mengapresiasi gelaran Cap Go Meh. Menurutnya, kebersamaan dan kolaborasi antara budaya Tinghoa dengan Minang dan etnis lainnya menjadi bukti bahwa Sumbar bukanlah provinsi yang intoleran.
"Ini bukti kita menjunjung tinggi Pancasila. Menghormati kemajemukan dan keberagaman," kata Audy dalam cuplikan video di media sosial pribadinya.
Audy juga menuliskan bahwa kebersamaan etnis dalam Cap Go Meh 2023 di Padang merupakan sebuah keindahan yang dimiliki Indonesia. "Negara ini lahir dari keberagaman, dipersatukan oleh takdir sejarah dan bersepakat untuk merdeka bersama dengan nilai-nilai Pancasila," tuturnya.
Rukun dan Menyatu dalam Keberagaman
Meski dinamakan Kampung Cina, kawasan Pondok ternyata tidak hanya ditempati orang-orang dari etnis Tionghoa. Di sana, ada pula pemukiman warga keturunan India yang bernama Kampuang Kaliang. Ada pula Kampung Nias, warga Batak, Jawa, Minangkabau dan sebagainya. Mereka tinggal berdampingan dan dengan kepercayaan masing-masing.
Perayaan Imlek hingga Cap Go Meh semakin mempertegas bahwa keberadaan Tionghoa di Padang betul-betul sudah 'menyatu' dengan warga Minang. Semua terlihat dari kebersamaan mereka dalam menikmati beragam pesta atraksi budaya Cina yang ditampilkan sejak sebelum puncak perayaan Tahun Baru Imlek. "Pondok itu ditempati beragam suku dan agama. Tapi kami rukun dan damai dalam bingkai NKRI," kata Albert Hendra Lukman melanjutkan perbincangan.
Dari data yang diketahui Albert, warga keturunan Tionghoa yang bermukim di Kota Padang hingga kini mencapai 15 ribu jiwa lebih. Jika ditotal seluruhnya dari Bukittinggi, Padang Panjang, Sawahlunto dan Payakumbuh, jumlah hanya berkisar hingga 17 ribu jiwa. Sebab, mayoritasnya tinggal di Padang. "Kami berharap kerukunan terus terjaga sampai kapan pun," katanya.
Guru besar sejarah Universitas Andalas (Unand), Gusti Asnan mengatakan, kebersamaan Tionghoa dengan etnis Minangkabau di Padang sudah terjalin sejak lama. Menurutnya, perayaan Imlek di awal abad ke-20 sudah lumrah digelar di Ranah Minang. Hal itu juga menandakan bahwa Minangkabau sudah sangat toleransi sejak dahulu kala.
"Akar historis mulai akrabnya berbagai etnis di Minangkabau itu sudah ada sejak 1830. Malah di 1820 dulu sudah ada etnis Nias yang menjadi penjaga kota zaman Belanda, Burgewagh namanya," katanya, Senin (27/2/2023).
Sejarawan itu memperkirakan Cina datang ke Padang sekitar abad ke-17. Saat itu, etnis Cina yang merupakan pedagang dibawa oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), sebuah kongsi dagang terbesar asal Belanda yang menguasai Asia di abad itu. Menurutnya, awal keakraban itu terjadi memang ketika Padang dijadikan Belanda sebagai jalur perdagangan internasional.
"Setiap kunjungan pejabat ke Padang, tokoh-tokoh Cina, Jawa, Minang dan etnis lain diundang. Mereka berbaur dan hubungan saat itu sudah cair. Sekitar tahun 1850 hingga 1860-an, sudah lazim kebersamaan antar tokoh etnis di Padang," katanya.
Sejak dulunya, kata Gusti, masyarakat kawasan pantai di Padang sangat terbuka dan toleran terhadap etnis pendatang. Ketika Belanda berkuasa, mereka pun diberikan pemukiman dengan nama etnis masing-masing. Makanya di Padang ada Kampung Cina, Kampung Keling, Kampung Jawa hingga Kampung Nias. Setelah abad ke-20, mulailah datang etnis Batak hingga Mentawai.
"Kebersamaan ragam etnis di Padang sejak dulu selalu terjaga. Ini yang perlu dirawat untuk generasi selanjutnya," katanya.
Sementara itu, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumbar, Prof. Duski Samad mengatakan, bahwa kemeriahan atraksi budaya Tionghoa di Kota Padang bukan pertunjukan baru. Menurutnya, kebersamaan masyarakat Minang, umat Islam khususnya, dalam menyaksikan pesta budaya tersebut sudah berlangsung sejak lama. Dia pun tak heran jika warga berbeda agama sama-sama antusias melihat pertunjukan barongsai dan sebagainya saat perayaan Tahun Baru Imlek.
"Masyarakat kita (Minang) sudah menerima itu (kebudayaan) karena tidak menyangkut agama. Budaya itu universal dan menjadi hiburan. Apalagi, Cap Go Meh sudah tumbuh beriringan dengan keragaman yang dinamis di Ranah Minang," kata Duski Samad, Selasa (28/2/2023).
Tak hanya mendengar cerita mulut ke mulut, Guru Besar UIN IB Padang itu sendiri telah merasakan bagaimana indahnya toleransi di Kampung Cina Pondok. "Saya sudah 4 tahun hidup di Pondok. Kalau bicara toleransi, sudahlah tidak perlu disebut lagi. Mungkin saat kata toleransi belum ada, Padang sudah toleransi," kata mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Padang itu.
Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Sumbar itu berpesan agar setiap warga mampu terus menjaga dan mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Menurutnya, kerukunan merupakan bagian penting dalam mewujudkan kemajukan sebuah daerah dan bangsa itu sendiri.
"Kerukunan itu mahal dan syarat mutlak untuk keamanan dan kemajuan. Mari rawat kebersamaan ini dengan saling menghargai," tuturnya.
Senada dengan itu, Sekretaris Rumah Moderasi Beragama UIN Mahmud Yunus Batusangkar, Deri Rizal mengatakan, antusiasme dan berbaurnya semua etnis menyaksikan Cap Go Meh menjadi bukti bahwa terjalinnya hubungan baik antara masyarakat di Kota Padang dan Sumbar pada umumnya. Dengan kata lain, sajian budaya dinikmati siapa saja tanpa memandang agama, ras dan suku.
"Agama dan budaya boleh berbeda, tapi kebersamaan harus tetap dijaga. Ini tergambar dalam festival Cap Go Meh," katanya, Rabu (1/3/2023).
Ketua Pemuda Muhammadiyah Sumbar itu mengatakan, masyarakat di Minangkabau sudah sangat memahami bahwa perbedaan merupakan sunnatullah yang tidak perlu dipertentangkan. Apalagi terjerumus dalam isu rasis yang kemudian dijadikan komoditas politik untuk menguntungkan salah satu pihak.
Dosen Syariah UIN UIN Mahmud Yunus Batusangkar itu berharap agar kebersamaan antar etnis di Sumbar terus terjaga dari generasi ke generasi. Dengan begitu, toleransi di Ranah Minang akan terus tumbuh tanpa menyisakan konflik sosial. "Perlu terus mengembangkan gerakan literasi toleransi kepada masyarakat. Konflik utu sering terjadi lantaran minimnya pemahaman seseorang terhadap objek yang dibahas," katanya.