Festival Pamalayu, Menjaga Peradaban Dharmasraya Lewat Atraksi Budaya

Arung Pamalayu menjadi puncak kemeriahan Festival Pamalayu Kenduri Swarnabhumi, Selasa (23/8/2022).

Riki Chandra
Jum'at, 30 Desember 2022 | 07:50 WIB
Festival Pamalayu, Menjaga Peradaban Dharmasraya Lewat Atraksi Budaya
Arung Pamalayu menjadi puncak Festival Pamalayu 2022. [Suara.com/B Rahmat]

SuaraSumbar.id - Arung Pamalayu menjadi puncak kemeriahan Festival Pamalayu Kenduri Swarnabhumi, Selasa (23/8/2022). Tim susur budaya aliran Batanghari itu membawa larut ke masa lampau hingga menyita ribuan pasang mata di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat (Sumbar). Tak berlebihan, masyarakat begitu antusias menyaksikannya.

Tingkah gendang berpadu irama musik tradisional, sahut menyahut mengantar langkah tim Arung Pamalayu yang berlayar dengan puluhan tempek (perahu) menyusuri Batanghari. Arung sungai ini dimulai dari bawah jembatan panjang Sungai Dareh di Kecamatan Pulau Punjung dan berlabuh di Candi Pulau Sawah di Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung.

Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan dan ratusan tokoh lainnya, begitu anggun mengenakan ragam pakaian adat. Sungguh sebuah pemandangan yang jarang terlihat di lintasan zaman yang kian maju.

Festival Pamalayu edisi kedua ini betul-betul berkesan. Jamak pesan tersirat dari berbagai rangkaian kegiatan yang diramu dalam tema "Keselarasan Alam Raya" itu. Mulai dari mendidik pelajar menyelamatkan cagar budaya lewat artefak kuno, hingga mempertajam ajakan mengembalikan kejernihan sungai Batanghari lewat simbol susur budaya Arung Pamalayu.

Baca Juga:Asri Welas Ungkap Indra Bekti yang Masih Ingat Dengan Pekerjaannya Usai Jalani Operasi

Arung Pamalayu mengkiaskan 'jalan juang' Sutan Riska yang ingin mengembalikan kejernihan aliran Batanghari. Kini, kondisi sungai dengan panjang sekitar 800 kilometer yang berhulu di Gunung Rasan dan bermuara di pantai timur Sumatera ke Laut Cina Selatan itu, memang kian memprihatinkan. Padahal sungai adalah sumber kehidupan. Perannya sangat besar dalam perabadan masyarakat, termasuk di Dharmasraya.

Batanghari yang lebarnya mencapai 500 meter itu berubah jadi muara 'pembuangan' segala macam. Airnya keruh. Tebing-tebingnya banyak yang roboh dan terkikis. Pohon tumbang dibiarkan mengakar ke sungai. Ada pula sempadan sungai dipenuhi sawit. Betul-betul kondisi yang mengkhawatirkan untuk sebuah misi penjernihan sungai.

"Jernihnya saat libur saja. Dua hari jelang Idul Fitri dan tiga hari sesudahnya. Setelah itu, air sungai kembali keruh karena mesin tambang kembali beraktivitas," kata salah seorang warga Dharmasraya kepada SuaraSumbar.id, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, pencemaran Batanghari dipicu aktivitas tambang yang mencari emas. Sementara tambang pasir memang bagian dari kehidupan masyarakat sepanjang aliran sungai.

"Sulit mengembalikan sungai seperti dulunya yang bersih dan jernih. Selain keruh, sungai juga telah mengandung raksa," tuturnya lagi.

Baca Juga:Jokowi Perintahkan TNI Serang dan Bumi Hanguskan Australia, Benarkah?

Sementara itu, sejarawan dari Universitas Andalas (Unand), Gusti Asnan mengatakan bahwa tipologis Batanghari berbeda dengan aliran sungai-sungai yang berada di kawasan timur Sumatera. Rata-rata, seungai di Sumbar pendek, deras dan kecil. Lebih-lebih sungai yang bermuara ke Samudera India.

"Sungai di Dharmasraya ini panjang dan besar. Sungai ini memiliki peran penting bagi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakatnya," katanya.

Mengembalikan Kejernihan Batanghari

Menurut Gusti Asnan, hampir semua orang tahu bahwa peradaban Dharmasraya itu sebetulnya berawal tumbuh di kawasan pinggiran sungai Batanghari, terutama pada periode awal kerajaan Dharmasraya. Bahkan sampai era revolusi dan perang Kemerdekaan RI.

"Sungai Batanghari telah mewarnai peradaban melayu dan peradaban Dharmasraya itu sendiri. Seperti yang saya katakan tadi, tumbuh dan berkembangnya peradaban itu berawal dari sungai," tuturnya.

Guru besar sejarah itu berpendapat bahwa fungsi sungai di daerah Sumbar memang berdasarkan lokasinya masing-masing. Di bagian barat wilayah Sumbar, peran historis sungai relatif minim. Namun, fungsi ekonomisnya, terutama untuk pengairan sangat penting dan diperlukan.

Sementara sungai di bagian timur, mulai dari Pasaman, Limapuluh Kota, Tanah Datar hingga Sijunjung dan Dharmasraya, memiliki peran yang besar dalam kehidupan masyarakat di daerah tersebut.

"Di masa lalu, peradaban, kebudayaan dan aktivitas politik orang-orang Pasaman, Tanah Datar sampai Sijunjung dan Dharmasraya, sangat ditentukan oleh sungai," tuturnya.

Ia pun mengaku miris dengan kondisi fisik aliran Batanghari saat ini. Menurutnya, kondisi tersebut secara tidak langsung juga merusak konteks historis sungai di Dharmasraya itu.

"Itu (kerusakan sungai) dipicu pemanfaatan secara ilegal oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mungkin tambang emas dan sebagainya. Pembabatan hutan juga memicu pencemaran air sungai hingga membuka ruang musibah banjir dan longsor," katanya.

Gusti Asnan berharap upaya Pemkab Dharmasraya dan Pemprov Sumbar mengembalikan kejernihan Batanghari berjalan baik. Menurutnya, menyelamatkan sungai Batanghari adalah bagian dari menjaga sejarah peradadan masyarakat Dharmasraya.

Dari catatan, jejak perdaban masa lalu di sepanjang aliran Batanghari memang banyak ditemukan. Mulai dari Koto Kandis, Muarajambi, Padang Roco, Pulau Sawah, dan Solok Sipin. Bahkan, ada yang dipilih penguasa Melayu menjadi pusat pemerintahannya.

Sejarah kehidupan di kawasan aliran Batanghari memang sudah sangat tua. Pengaruh prehistori bahkan sampai ke Kerinci. Selain itu, ada juga pengaruh dari Tiongkok dengan ditemukannya keramik-keramik di Dinasti Han, abad ke-3. Kemudian, Batanghari juga menyimpan banyak sejarah yang berkaitan dengan peradaban Melayu.

Sejak abad ke-7, hiliran Batanghari telah menjadi titik perdagangan penting bagi beberapa kerajaan yang pernah muncul di pulau Sumatera; Sriwijaya dan Dharmasraya. Maka tak heran, sebagai salah satu daerah yang dilintasi Batanghari, Pemkab Dharmasraya getol mengkampanyekan penjernihan sungai bersejarah itu.

Mayoritas masyarakat Dharmasraya menjadikan sungai sebagai penghidupan ternak hingga kebutuhan sawah ladang. Sejatinya, daerah yang dilewati Batanghari tak hanya Dharmasraya. Sungai itu mengalir ke wilayah Tanjung Jabung Timur, Muaro Jambi, Sarolangun, Merangin, Tebo, Bungo hingga Kota Jambi di Provinsi Jambi. Semua daerah di dua provinsi itu kini saling menguatkan demi tujuan yang sama dalam balutan Festival Pamalayu.

"Perayaan festival Pamalayu ini bukan sekadar untuk peradaban kebudayaan dan kesenian saja. Kami juga suarakan pentingnya melindungi lingkungan, terutama sungai Batanghari," kata Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan.

Sutan Riska optimis cita-citanya menjernihkan kembali aliran Batanghari akan terwujud di masa mendatang. Menurutnya, semua kepala daerah yang wilayahnya dilintasi Batanghari, termasuk penegak hukum, sudah berkomitmen untuk sama-sama mengembalikan keasrian Batanghari.

Pihaknya bersama penegak hukum akan mengedukasi para penambang emas di aliran Batanghari untuk tidak lagi merusak lingkungan. Hal itu bisa dilakukan dengan memberikan izin resmi dengan syarat mengikuti semua tahapan yang ada. Dengan begitu, air Batanghari tidak lagi tercemar oleh kandungan mercury.

"Langkah memperketat penjagaan sungai Batanghari tentu saja dengan melahirkan Peraturan daerah (Perda). Kami juga akan buat Peraturan Bupati (Perbup) tentang larangan membuang sampah ke sungai. Sekarang sudah ada 12 Lubuk Larangan di Batanghari. Semoga ini menjadi langkah awal menjernihkan kembali Batanghari," katanya.

Merawat Sejarah

Festival Pamalayu digagas untuk membangkitkan kembali memori masa lampau agar generasi muda mengetahui sejarah daerah itu sendiri. Gelaran kegiatannya dibungkus dengan ragam atraksi budaya. Banyak cerita tentang perabadan Budha dan Hindu di tanah Dharmasraya. Dalam edisi kedua ini, sejumlah artefak kuno pun dipamerkan kepada masyarakat di kawasan Candi Pulau Sawah.

Archa Budha, Prasasti Lempeng Timah hingga Wadah Penetes Air, dipamerkan dari balik kaca bening. Menurut pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Sumbar artefak kuno tersebut diperkirakan sudah berusia 1.300 hingga 1.400 tahun. Semua artefak kuno yang ditampilkan BPCB di Festival Pamalayu itu berhubungan erat dengan sejarah Dharmasraya.

Tak sekadar menghibur masyarakat dengan berbagai atraksi budaya, para siswa juga ikut dilibatkan belajar menyelamatkan cagar budaya yang masih tertimbun dalam tanah di kawasan Candi Pulau Sawah.

Para siswa ikut menggali tanah-tanah tempat di kawasan candi tersebut. Sebelum belajar, mereka melihat dahulu pameran artefak peninggalan Kerajaan Melayu Dharmasraya yang juga dikelola BPCB Sumbar.

“Sebelum menggali, para siswa kami beri informasi tentang artefak dalam pameran yang sebagian besar ditemukan di area Candi Pulau Sawah,” kata tim kelompok kerja pengamanan, penyelamatan dan zonasi BPCB Sumbar, Dodi.

Pelibatan pelajar ini bagian dari cara BPCB Sumbar memberikan pengetahuan sejarah kepada siswa tentang cara menemukan artefak kuno di Dharmasraya. Salah satunya dengan proses ekskavasi.

"Kami mengemas sekolah lapangan agar para pelajar bisa mengetahui cara melakukan ekskavasi terhadap cagar budaya yang masih tertimbun," tuturnya.

Dengan ikut merasakan sensasi ekskavasi, pelajar memiliki pengetahuan dan pengalaman bahwa proses pengungkapan jejak-jejak peradaban masa lalu yang tersimpan di bawah tanah tidak mudah. Perlu kehati-hatian dan proses panjang dalam mengungkapkannya.

Di sisi lain, Pemkab Dharmasraya juga mengenalkan ratusan ragam kuliner khas produk UMKM warga setempat. Paling tidak, selama sepekan pelaksanaan Festival Pamalayu, roda perekonomian masyarakat bergerak cepat. Pada akhirnya, festival hanyalah sebuah pesta. Peran dan fungsinya akan berarti jika pesan yang dibawanya mampu menggerakkan semua pihak ikut terlibat untuk lebih baik.

Kontributor : B Rahmat

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini