SuaraSumbar.id - Mantan Kapolda Sumbar Irjen Pol (Purn) Fakhrizal kembali blak-blakan menyoal polemik sengketa tanah kaum Maboet di Kota Padang, Sumatera Barat (Sumbar). Sampai saat ini, persoalan tanah seluas 765 hektare itu belum juga menemui titik terang.
Menurut Fakhrizal, jika kasus ini tidak selesai, makan akan menjadi preseden buruk terhadap daerah. Padahal, kasus ini sudah rampung ketika ia menjadi Kapolda Sumbar.
Bukan tanpa alasan Fakhrizal menyebut persoalan itu tuntas. Bukti rampungnya masalah tanah kamu Maboet ini ditandai dengan adanya beberapa dokumen dari putusan-putusan Pengadilan dan BPN Kota Padang. Terakhir, adanya dokumen yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor BPN Kota Padang Elfidian tahun 2019 yang menyatakan bahwa tanah seluas 765 hektare di 4 kelurahan di Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang itu adalah tanah milik adat kaum Maboed.
"Sudah di sampaikan kepada Menteri ATR/BPN, Gubernur Sumbar, Kapolda Sumbar, Kajati Sumbar, Wali Kota Padang. Semua Instansi yang terkait dan kepada pihak kaum Maboed sendiri," kata Fakhrizal kepada wartawan di Padang, Kamis (12/5/2022).
Baca Juga:Batal Tawuran, Belasan Remaja di Padang Malah Palak Warga Pakai Samurai dan Celurit
BPN tentu tidak sembarangan mengeluarkan dokumen, kata Fakhrizal. Sudah tentu semuanya melalui proses dan mekanisme panjang dan bertahun-tahun. Mulai dari adanya putusan-putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum seperti beberapa kali pihak kaum Maboed digugat perdata dan hasilnya dimenangkan oleh kaum Maboed.
"Sudah terjawab dan tidak ada lagi pertanyaan apakah ini tanah negara atau tanah adat, karena Pemda tidak pernah menggugat kaum Maboed. Semua yang saya sampaikan ini ada dokumennya," jelasnya.
BPN Padang telah menyatakan tanah itu milik kaum Maboed. Namun, di atas tanah tersebut sudah banyak berdiri bangunan seperti rumah penduduk, kantor pemerintahan, yayasan hingga kampus. Dengan begitu, tidak mungkin dilakukan eksekusi karena bisa memicu konflik lebih besar.
"Saya carikan solusi yang terbaik dengan mengambil jalan tengah, bagaimana supaya hak kaum Maboed bisa diakomodir dan tidak ada pihak yang dirugikan, sehingga kasus ini tidak berkepanjangan, saya ambil kebijakan yaitu kesepakatan dengan kaum Maboed," tegasnya.
Kesepakatan yang diambil waktu itu, pertama pihak kaum Maboed yang diwakili Mamak Kepala Waris (MKW) Lehar tidak akan mempermasalahkan bangunan rumah masyarakat, kantor pemerintah, kantor yayasan, kampus yang sudah berdiri di atas tanah tersebut.
Baca Juga:Padang Dilanda Hujan dan Angin Kencang, Ini Dampaknya
Kedua, kaum Maboed hanya meminta tanah yang masih kosong untuk kepentingan kaumnya. "Solusi yang saya ambil ini kemudian saya sosialisasikan kepada yang ada di atas tanah dengan ketemu langsung di Kantor Polda," ujarnya.
Waktu itu, pihaknya bertemu dengan pengurus Yayasan Bung Hatta, Pengurus Yayasan Baitur Rahmah, tokoh masyarakat mewakili masyarakat yang ada di atas tanah ini dan tidak ada gejolak lagi di atas tanah ini.
Kemudian diperkuat lagi dengan surat pernyataan kaum Maboed MKW Lehar, akan membantu masyarakat yang sudah berdiri rumahnya tapi belum bersertifikat dengan alas hak tanah kaum Maboed. Sedangkan yang sudah bersertifikat dengan memakai alas hak tanah negara akan dibantu pelepasan haknya oleh kaum Maboed MKW Lehar.
"Semuanya sudah berjalan di BPN Kota Padang. Makanya masalah ini sudah saya anggap selesai waktu itu," ungkapnya.
Hanya saja, ketika Fakhrizal tidak lagi menjabat sebagai Kapolda Sumbar, kesepakatan yang telah dibuat itu mentah dan kasus tersebut berbalik arah.
"Saya juga heran setelah saya pindah ke Mabes Polri baru dua bulan kasus ini dimunculkan kembali dan situasi jadi panas lagi dengan ditangkapnya MKW Lehar, M Yusuf, Yasri dan Eko Posko atas laporan Budiman dengan tuduhan pemalsuan pasal 263 KUHP dan penipuan pasal 378 KUHP. Kemudian dikatakan mafia tanah," katanya.
Tak hanya itu, jelasnya, Menteri ATR/BPN dan Gubernur Sumbar waktu itu juga memberi penghargaan kepada penyidik Polda Sumbar yang telah berhasil mengungkap kasus mafia tanah di Kota Padang yang notabenenya sudah selesai di era Kapolda Sumbar Fakhrizal.
"Kalau memang banyak yang ditipu tentu banyak masyarakat yang melaporkan, seperti Yayasan Bung Hatta, Baitur Rahmah dan Pengusaha pengusaha yang banyak menguasai tanah di atas tanah ini kenapa tidak ada yang berani melaporkan," bebernya.
Fakhrizal menduga persoalan ini terjadi lantaran ada pihak pihak yang punya kepentingan untuk menghilangkan kepemilikan tanah kaum Maboed.
Setelah kasus tersebut dihembuskan kembali, sampai hari ini persoalannya pun tak kunjung usai. Mamak kepala waris MKW Lehar yang ditangkap saat itu meninggal dunia dalam masa penahanan Polda Sumbar. Kemudian, M Yusuf dan Yasri dikeluarkan dari tahanan karena tidak cukup bukti dan hanya Eko Posko yang divonis hukuman penjara.
"Sekarang mereka (kaum Maboet) membuat surat kemana-mana dan melapor ke Mabes Polri atas dugaan kriminalisasi. Masyarakat bertanya-tanya, ada apa dalam kasus ini," ujarnya.
Atas kondisi yang terjadi hari ini, Fakhrizal meminta kasus ini ditangani pusat.