Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Selasa, 16 Juli 2024 | 15:54 WIB
Kegiatan gotongroyong di lokasi Festival Maek. [Dok.Istimewa]

SuaraSumbar.id - Jelang gelaran Festival Maek (17-20 Juli 2024), masyarakat bergotong royong di sekitar area festival, di Jorong Koto Tangah, Nagari Maek, Kecamatan Bukik Barisan, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat (Sumbar). Rute menuju area festival dibersihkan agar memberi kenyamanan bagi pengunjung dan tamu festival.

Wali Nagari Maek, Efrizal Hendri Dt Patiah mengatakan, kegiatan ini adalah salah satu bentuk dukungan masyarakat terhadap festival. “Secara umum, masyarakat Maek sangat mendukung festival ini. Niniak Mamak, Cadiak Pandai, jajaran pemerintah, dan sebagainya,” katanya, Selasa (16/7/2024).

Meski awalnya sempat ada friksi dalam masyarakat Maek yang kemudian bisa dikoordinasikan. “Intinya kita mendukung, sangat mendukung, selagi tujuannya untuk kebaikan bersama," katanya.

Sejak awal, anak nagari Maek turut menginisiasi Festival Maek. Dalam Focus Discussion Group (FGD) yang digelar di Maek pada Juli 2023 lalu, perlunya sebuah festival untuk mempromosikan potensi wisata dan budaya Maek. Tidak hanya ke masyarakat Indonesia, namun juga ke warga dunia.

Selain turut menginisiasi festival, anak nagari Maek juga ikut berpartisipasi sebagai penampil dalam festival. Beberapa kesenian tradisi yang hidup di Maek akan dipertunjukan dalam festival, seperti ‘Rabab Maek’.

Di samping itu, anak nagari Maek juga membuat karya pertunjukan bersama dengan komposer dan koreografer dari Indonesia, Jerman, dan Australia. Mereka adalah Sendi Oryzal, Jefriandi Usman, Bianca Sere Pulungan, dan Janette Hoe, yang berkolaborasi dengan 20 anak nagari Maek untuk membuat seni pertunjukan bertajuk “MASA”.

Seni pertunjukan kolaboratif itu akan ditampilkan di malam pembukaan dan penutupan Festival Maek.

Direktur Festival Maek, Donny Eros mengatakan, Festival Maek memang berupaya melibatkan anak nagari secara aktif dalam perencanaan, konsep, serta dalam pertunjukan-pertunjukan.

“Kita, kan, memang inginnya festival itu berasal dari bawah, bukan sepenuhnya dicangkokkan dari atas,” kata akademisi dari FIB Unand tersebut saat diwawancarai pada Selasa (16/7/2024).

“Jadi festival tidak hanya selebrasi, tapi juga ada pertukaran budaya antara komunitas lokal, interaksi budaya dan keilmuan antara komunitas lokal dan para fasilitator dari luar Maek di dalamnya,” jelasnya lebih jauh.

Eros juga menyinggung soal pentingnya pelibatan komunitas lokal dalam festival, terutama festival terkait cagar budaya di Dunia Ketiga.

“Cagar-cagar budaya Dunia Ketiga selama ini cenderung terabaikan, kalah pamor oleh cagar-cagar budaya Dunia Pertama. Kondisi seperti ini, ada kaitannya dengan semacam bias dalam melihat nilai penting suatu cagar budaya,” jelasnya sambil menambahkan bahwa nilai penting cagar budaya itu dirumuskan dari atas, bersifat top-down, dan cenderung mengabaikan suara komunitas lokal pemilik cagar budaya.

Selain pertunjukan kolaboratif “MASA,” selama 4 hari Festival Maek akan menghadirkan sejumlah pertunjukan budaya dari Kabupaten-kabupaten di Sumbar dan Provinsi lain di Indonesia.

Ada pertunjukan gamelan dari Gamelan Kalatidha, Jawa Tengah, performance art dari Riau yang berkisah tentang Candi Muara Takus, hingga kesenian-kesenian tradisional Minangkabau seperti Sirompak Taeh, Dikia Pano, Tari Togah, Ulu Ambek, dan sebagainya.

Load More