Scroll untuk membaca artikel
Chandra Iswinarno
Kamis, 02 September 2021 | 06:59 WIB
Pengunjung menikmati kawasan pedestrian Jam Gadang, di Bukittinggi, Sumatera Barat, Minggu (24/2/2019). [ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra].

SuaraSumbar.id - Berbicara tentang Sumatera Barat (Sumbar) tentunya tak akan bisa dilepaskan dari ikon yang satu ini, Jam Gadang. Meski berada di Kota Bukittinggi, namun keberadaan jam yang satu ini terasa sulit dilewatkan begitu saja.

Jam Gadang sendiri memiliki diameter 80 centimeter dengan ditopang lantai dasar berukuran 13x4 meter, sehingga terlihat mirip tugu atau monumen.

Ada fakta menarik saat pembangunan Jam Gadang  dibuat, yakni materialnya ternyata hanya menggunakan campuran putih telur, kapur dan pasir putih. Dengan demikian, secara konstruksi dan bangunan, Jam Gadang ini menjadi salah satu bukti kehebatan teknik pembangunan.

Jam Gadang Bukittinggi di malam hari. [Dok.Antara]

  Sementara dari sisi ketinggian bagunan, Jam Gadang memiliki empat lantai. Pada lantai pertama, diperuntukan untuk ruang petugas. Kemudian pada lantai kedua, merupakan tempat bandul pemberat jam.

Baca Juga: PPKM Level 3 Bukittinggi Diperpanjang, Objek Wisata dan Jam Gadang Telah Dibuka

Sedangkan pada lantai ketiga, tempat dari mesin jam; dan pada lantai empat, merupakan tempat lonceng jam ditempatkan.

Dibuat Tahun 1926

Sejarah Jam Gadang sendiri memiliki simbol yang menarik, lantaran didirikan oleh Yazin dan Sultan Gigih Ameh pada Tahun 1926. Pembangunannya secara resmi menghabiskan dana mencapai 3.000 Gulden.

Kala itu, Jam Gadang merupakan pemberian dari Ratu Belanda Wilhelmina kepada Rook Maker Sekretaris kota Bukittinggi pada masa Kolonial Belanda. 

Uniknya, mesin jam yang digunakan Jam Gadang tersebut ternyata sama dengan Big Ben di Kota London, Inggris. Kemudian ada penulisan huruf romawi IV yang ditulis menjadi IIII itulah yang menjadikan Jam Gadang ini kian menarik.

Baca Juga: Wisata Jam Gadang Bukittinggi Dibuka Kembali

Dalam perjalanannya, Jam Gadang ini sudah mengalami tiga kali perubahan. Pertama, pada masa Belanda. Kala itu atapnya bulat dengen patung ayam jantan menghadap ke arah timur.

Kedua, pada zaman Jepang yang atapnya dibuat berbentuk klenteng. Kemudian perubahan ketiga, pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia atapnya berubah menjadi adat Minangkabau (Rumah Gadang).

Selain sederetan fakta kesejarahan tersebut, Jam Gadang yang kini menjadi salah satu destinasi wisata favorit ini, dulunya memiliki taman bernama Wirasakti.

Pengunjung menikmati kawasan pedestrian Jam Gadang, di Bukittinggi, Sumatera Barat, Minggu (24/2/2019). Revitalisasi pedestrian Jam Gadang tersebut rampung dan fasilitasnya kini bisa dinikmati pengunjung serta masyarakat, meliputi kawasan ramah disabilitas, taman bunga, lampu hias, dan air mancur [ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra].

Sehingga tak heran, dari Menara Jam Gadang, dapat terlihat jelas keindahan panorama Bukittinggi yang berbukit-bukit, lembah dan bangunan berjajar di tengah kota.

Selain itu, menjulangnya Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat bisa terlihat dengan jelas dari ketinggian Jam Gadang. Tentunya akan sangat disayangkan kalau kesempatan ini dilewatkan begitu saja.

Meski begitu, tidak serta merta semua wisatawan bisa naik ke puncak Jam Gadang. Ada aturan yang perlu ditaati pengunjung.

Bagi perempuan yang sedang berhalangan dilarang naik ke puncak Jam Gadang pun dengan laki-laki yang meminum minuman beralkohol dilarang keras naik.

Tentunya jika tak bisa naik ke Menara Jam Gadang, tenang masih ada alternatif hiburan yang bisa dilakukan di sekitar destinasi itu.

Bagi pecinta kuliner, tentunya bisa mencicipi makanan yang ada di sekitar Jam Gadang, selain itu bisa berbelanja oleh-oleh dan berkeliling naik delman mengitari area Jam Gadang.

Buat kamu yang tertarik berkunjung ke tempat ini, tak perlu khawatir dengan biaya tiket masuk, lantaran tempat ini tidak dikenakan tarif. 

Tentunya, jika kamu tertarik datang ke Jam Gadang, bisa mengaksesnya dari jalur darat dengan menggunakan angkutan umum yang menempuh waktu kurang lebih dua jam dari Kota Padang ke Bukittinggi. [Elisa Naomi Hutapea]

Load More