Sedekah Seribu Sehari, Jalan Juang Penyintas Kanker Membangun Asa Kaum Duafa

Sejak empat tahun terakhir, Sri Chandra Nurlaili menyulap rumahnya menjadi tempat tinggal anak-anak terlantar. Semua kebutuhannya dicukupi dan juga di sekolahkan.

Riki Chandra
Jum'at, 30 Desember 2022 | 09:10 WIB
Sedekah Seribu Sehari, Jalan Juang Penyintas Kanker Membangun Asa Kaum Duafa
Sri Chandra Nurlaili (kiri), penggerak sedekah seribu sehari dan rumah asuh anak terlantar di Tanah Datar, saat menyaksikan kegiatan anak asuhnya setelah makan siang. [Suara.com/Riki Chandra]

SuaraSumbar.id - Sejak empat tahun terakhir, Sri Chandra Nurlaili menyulap rumahnya menjadi tempat tinggal anak-anak terlantar. Semua kebutuhannya dicukupi dan juga di sekolahkan. Bocah-bocah itu dirawat dan diasuh bersamaan dengan anak kandungnya sendiri.

Perempuan 37 tahun itu tidaklah mapan secara ekonomi. Modalnya hanya ikhlas dan berani. Dia membantu kaum duafa di sekitar tempat tinggalnya dengan cara melahirkan Komunitas Sedekah Seribu Sehari (S3). Lewat ikhtiar itu pula, anak-anak asuhnya hidup dan menimba ilmu layaknya mereka yang mampu.

Siang di hari Sabtu (12/11/2022), Suara.com menyambangi rumah Sri Chandra yang berada di Jorong Jati Tunggal dekat Balai Okok Buo, Kecamatan Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat (Sumbar). Saat itu, anak-anak asuhnya baru saja pulang sekolah.

Ada yang berlarian di samping rumah dekat dapur sambil berkelakar. Sebagian belajar di dalam kamar. Ada pula yang sedang makan dekat pintu bagian belakang. "Mereka baru pulang. Semuannya sudah selesai makan siang," katanya membuka cerita.

Baca Juga:Pertamina Sebut Pasokan BBM dan LPG di Sumbar Aman Selama Libur Nataru

Sri Chandra melahirkan komunitas Sedekah Seribu Sehari atau S3 sejak September 2015 lalu. Tak terhitung jumlah kaum duafa yang telah merasakan manfaat dari S3, khususnya warga miskin di Lintau IX Koto, Kabupaten Tanah Datar. Bahkan kini, S3 pun punya rumah asuh bagi anak-anak terlantar.

"Dulu hanya gerakan saya dan sejumlah alumni SMK, namanya Peduli Kasih. Lalu dapat jalur bikin komunitas S3, saya pun mencobanya," katanya.

Kanker Merenggut Nyawa Sang Kakak

Sri Chandra Nurlaili dan seorang kakaknya ternyata menderita kanker payudara. Bahkan, sang kakak harus menjalani kemo terapi selama satu tahun hingga akhirnya meninggal dunia. Peristiwa itu terjadi sekitar 8 tahun lalu. Kepergian sang kakak itulah yang menjadi sejarah awal Sri Chandra aktif dalam gerakan sosial.

"Komunitas Sedekah Seribu Sehari lahir sekitar 3 bulan setelah kakak saya meninggal dunia," katanya.

Baca Juga:Dua Rumah di Bukit Tinggi Terbakar, Begini Kejadiannya

Gerakan sedekah itu bermula dari nazar perempuan yang akrap disapa Ummy Iis itu. Dia berjanji, kelak jika kanker payudaranya sembuh, maka ia akan mewakafkan hidupnya untuk membantu kaum duafa yang terserang kanker. Berkat rahmat Tuhan, Iis pun sembuh dari kanker tanpa pengobatan medis.

"Sembuh total tentu tidak, tapi bisa lancar beraktivitas dan tidak sakit lagi. Sejak awal saya memang tidak mau berobat medis karena takut. Kalau kakak yang meninggal itu maunya berobat ke dokter," katanya.

Lulusan SMK jurusan bangunan itu punya alasan tersendiri memilih membantu kaum duafa penderita kanker. Semua tak terlepas dari pengalaman pahitnya ketika menemani sang kakak berobat ke RS Achmad Mochtar (RASM) Bukittinggi. Sekitar setahun lamanya Iis pulang-balik ke Bukittinggi yang berjarak sekitar 75 Km dari kediamannya.

Kontrol untuk pengobatan kanker payudara kakaknya tidak bisa selesai sehari. Dengan begitu, Iis pun harus menginap di sekitaran RSAM Bukittinggi. "Kontrolnya dua kali sebulan, tapi tidak dirawat," katanya.

Iis tidak punya keluarga di Bukittinggi. Untuk tidur di penginapan pun ia tak punya uang. Jalan satu-satunya agar bisa berobat adalah tidur di emperan rumah sakit. Kadang-kadang ia tidur di mushala.

Selama itu pula Iis merasakan pahitnya jadi orang yang tak berpunya. Beruntung dia mendapatkan banyak belas kasihan orang. Banyak cerita-cerita haru selama di RS yang tak luput dari ingatannya. "Saya dikasih uang orang-orang yang tak saya kenal. Mereka kasihan sama kami yang berjuang berobat, tapi untuk makan saat di RS pun kami tak ada," katanya.

Sri Chandra Nurlaili, penggerak sedekah seribu sehari dan rumah asuh anak terlantar di Tanah Datar, Sumatera Barat. [Suara.com/Riki Chandra]
Sri Chandra Nurlaili, penggerak sedekah seribu sehari dan rumah asuh anak terlantar di Tanah Datar, Sumatera Barat. [Suara.com/Riki Chandra]

Setelah merasa sembuh dan kembali normal beraktivitas, Iis pun mencari cara membantu penderita kanker yang kurang mampu. Paling tidak, kata Iis, ia bisa meringankan beban keluarga yang ditinggalkannya di rumah. Sebab, meski biaya pengobatan di RS kini dibantu BPJS Kesehatan, biaya kehidupan sehari-hari atau biaya keluarga yang menemani pasien berobat perlu juga dibantu. Apalagi kalau mereka hanya buruh yang gaji hidup jika sedang bekerja.

"Saya merasakan betul manfaat bantuan orang lain saat menemani kakak kontrol dan kemoterapi. Saat itu, saya juga menahan sakit kanker payudara," kenangnya.

Setelah hadirnya komunitas S3 itu, Iis mampu menghimpun banyak dana untuk membantu penderita kanker yang kesusahan. Bahkan, ia sampai mengirim pasien kanker berobat hingga ke Rumah Sakit Kanker Dharmais.

Bantu Semua Orang Susah

Gerakan S3 Sri Chandra awalnya hanya untuk membantu pasien penderita kanker yang kesulitan biaya. Seiring berjalan waktu, gerakan sedekah itu pun meluas hingga membantu semua kaum duafa di daerah tempat tinggalnya. Namun, kebanyakan yang menerima manfaat gerakan itu adalah orang-orang yang sedang sakit.

Awal-awal bergerak, Iis dan sejumlah rekannya mendatangi rumah-rumah tetangga. Ada yang menyumbang uang hingga memberikan bantuan dalam bentuk barang; telor ayam, beras, mie instan dan bahan pokok lainnya. Seiring berjalan, model donasi yang digalang komunitasnya berkembang ke media sosial. Bantuan-bantuan tersebut disalurkan setiap hari Jumat kepada penerima manfaat secara bergiliran.

"Saya dan kawan-kawan hanya menghimpun bantuan orang lain untuk disalurkan kepada kaum duafa. Hasilnya kini tak hanya untuk pasien kanker, tapi juga kami bagikan untuk janda-janda miskin, anak yatim dan para jompo. Bantuannya uang dan sembako," katanya.

Tiga tahun berjalan, dampak gerakan Sedekah Seribu Sehari makin dirasakan oleh masyarakat. Bahkan, Iis juga menginisiasi lahirnya gerakan sedekah yang sama di Kabupaten Agam yang juga sudah memberikan dampak kepada warga sekitar.

Berkat kepeduliannya terhadap penderita kanker dan kaum duafa, Iis diganjar penghargaan sebagai Perempuan Inspiratif oleh Gubernur Sumbar Irwan Prayitno di tahun 2018. Ia dianggap mampu menggerakan masyarakat untuk saling berbagi, meringankan mereka yang tidak mampu.

Tak hanya Gubernur Sumbar, Sri Chandrawati juga menjadi salah satu penerima penghargaan Satu Indonesia Award (SIA) Tingkat Provinsi di 2018 bidang kesehatan. Dia tak percaya gagasan kecilnya akan berbuah apresiasi dari berbagai pihak, bahkan dari PT Astra International Tbk. Dia kaget karena tidak pernah mendaftarkan diri dalam kegiatan apa pun.

"Saya berbuat ini karena ikhlas. Biar Tuhan saja yang tahu dan membalasnya. Tiba-tiba dapat penghargaan Astra. Setelahnya saya tahu yang mendaftarkan itu teman semasa di SMK," katanya tersenyum.

Rumah Asuh

Penghargaan demi penghargaan melecut semangat Iis mengembangkan gerakan sedekahnya agar lebih bermanfaat bagi masyarakat. Gayung pun bersambut. Tak lama setelah meraih SIA tingkat provinsi, sebuah yayasan menawarkan kerjasama kepada Iis untuk mendirikan rumah asuh bagi anak-anak terlantar.

Dalam kerjasamanya dengan pihak yayasan yang tak disebutkan namanya itu, Iis bertugas mencari anak-anak terlantar dan merawatnya. Nantinya, pihak yayasan menyediakan segala keperluan. Mulai dari tempat tinggal dan semua yang dibutuhkan anak-anak tersebut.

Iis pun tertarik. Selama ini, banyak anak-anak kaum duafa yang dibantunya tidak bersekolah. Dia berpikir, alangkah eloknya mereka diasuh dan disekolahkan. Dengan begitu, manfaat bantuan akan lebih bermanfaat dari sekadar untuk makan.

Singkat cerita, Ummy Iis menemukan anak-anak yang dianggapnya layak untuk diasuh dan dibawanya ke rumah asuh yang baru dibangun bersama yayasan tersebut.

"Awalnya, pihak yayasan itu mengontrakan rumah untuk tempat tinggal anak-anak asuh ini. Semuanya ditanggung. Makan anak-anak, biaya sekolah, termasuk memberi saya insentif. Tapi hanya berjalan sekitar tiga bulan. Setelah itu mereka pergi tanpa kabar," katanya.

Ummy Iis bingung karena pihak yayasan hilang bak ditelan bumi. Anak-anak yang diasuhnya tentu tetap butuh biaya hidup. Dia bimbang antara ingin melanjutan program rumah asuh atau kembali memulangkan mereka ke keluarga masing-masing.

Anak-anak asuh Sri Chandra Nurlaili saat menikmati makan siang. [Dok.Istimewa]
Anak-anak asuh Sri Chandra Nurlaili saat menikmati makan siang. [Dok.Istimewa]

Hatinya berbisik untuk terus melanjutkan mengasuh anak-anak tersebut. Kepalang tanggung, Ummy Iis akhirnya mengembangkan sayap program sedekah untuk menghidupi anak-anak asuhnya. "Setelah kontrakan rumah habis, barulah anak-anak ini saya bawa ke rumah sendiri. Mereka tinggal di sini layaknya anak kandung," katanya.

Anak asuh Ummy Iis kini berjumlah 8 orang. Dia sendiri memiliki 4 orang anak kandung. Mereka berbaur tanpa sekat. Delapan orang perempuan tidur di dua kamar rumah yang ditempatinya. Empat orang laki-laki, termasuk dua anaknya, tidur di kamar rumah orang tuanya yang berjarak sekitar 2 meter dari kediamannya.

"Apa yang saya makan, itu yang mereka makan. Tidak ada bedanya. Makanya saya sebut anak saya kini 12 orang, karena nyatanya memang mereka tidur di tempat yang sama," katanya.

Anak-anak yang diasuh Ummy Iis ini ternyata tak sekadar kurang mampu. Mereka memiliki kisah-kisah yang memilukan. Ada yang orang tuanya gangguan jiwa hingga dipasung, lalu bercerai, dan anaknya tak diurus. Ada pula korban kekerasan seksual dari ayah kandungnya sendiri.

Selain itu, anak-anak tersebut juga memiliki kemampuan intelektual lambat atau IQ-nya rendah. "Ini memang anak-anak super khusus dan sekadar miskin. Ada yang sudah 13 tahun tidak juga bisa membaca dan masih kelas 3 SD. Tapi tetap kami sekolahkan, kami arahkan," katanya.

Fenomena itulah yang membuat Ummy Iis tak sampai hati memulangkan mereka ke rumah masing-masing ketika pihak yayasan itu melarikan diri. Kini, semua anak-anak asuhnya sekolah setiap hari seperti anak pada umumnya. Sorenya mereka juga mengaji. Rata-rata anak asuhnya masih duduk di bangku SD, hanya 1 orang di SMK dan seorang lainnya di SMP.

"Saya ingin mereka kelak bisa hidup normal. Rumah asuh ini untuk mengangkat dan menjauhkan mereka dari kondisi sosial yang memiriskan," katanya.

Iis juga tidak membebankan memasak makanan sehari-hari dan memasak untuk anak asuhnya. Mereka baru diperbantukan untuk menjemur pakaian, menyapu rumah dan halaman.

"Belajar yang saya suruh wajib tiap hari. Tapi mereka rata-rata lemah sekali dalam sekolah," katanya.

Perlakuan baik Ummy Iis ini dibenarkan anak asuhnya, Siti. Siswi kelas 4 SD mengaku senang sejak tinggal di rumah asuh karena tidak lagi menahan lapar tak makan. Kemudian, dia juga bisa sekolah walau sampai hari ini ia masih kesulitan membaca. Padahal sudah berusia 13 tahun.

"Senang. Tidak pernah kena marah," kata Siti malu-malu.

Begitu juga pengakuan Mei-mei. Menurut siswi kelas 3 SD itu, tinggal di rumah asuh Ummy Iis betul-betul dianggap seperti anak kandung. Dia tidak pernah dibebankan sesuatu pun.

"Makan tinggal makan. Belajar, sekolah dan shalat. Begitu saja tiap hari," katanya siswi berusia 11 tahun yang berasal dari pedalaman Kepulauan Mentawai itu.

Tak Peduli Cibiran Orang

Meski tanpa donatur tetap, Ummy Iis tetap mampu menghidupi anak asuhnya lewat donasi para dermawan sampai hari ini. Menurutnya, rezeki untuk anak-anak itu selalu ada dari sumber yang tak diduga-duga. Setiap hari, mereka yang duduk di bangku SD diberi jajan Rp 5 ribu dan Rp 10 ribu untuk anak SMP. Sorenya, saat mau berangkat mengaji, mereka kadang-kadang juga diberi jajan tambahan.

"Biaya beras, lauk pauk, jajan dan kebutuhan anak-anak lainnya mencapai Rp 1,5 juta seminggu. Alhamdulillah, rezeki mereka selalu ada," katanya.

Pernah beberapa kali tak ada beras untuk dimasak. Ketika berpikir mencari uang, tiba-tiba datang panggilan telepon orang yang akan berdonasi. Kadang saat terpepet betul untuk kebutuhan makan anak-anak ini, Iis tak jarang menghubungi teman-temannya yang juga cukup peduli.

Perjuangan Ummy Iis menghidupi anak-anak malang itu tidaklah mudah. Dia kerap dicibir orang-orang. "Hidup saja susah, mau tampung anak orang pula". Begitu sering hujatan sampai ke telinganya. Namun, ocehan miring itu tak dihiraukan. Baginya, hidup sekali ini harus berarti di dunia dan akhirat.

"Terus berbuat baik saja selagi hidup. Saya ini kan cuma jembatan orang-orang yang ingin berbuat baik untuk kemanusiaan. Biar Tuhan yang menilai," katanya.

Anak bungsu dari 6 bersaudara itu mengaku punya rasa kepedulian ini lantaran pernah merasakan pahitnya kehidupan. Semasa kanak-kanak, ibunya sering mengutang ke tetangga hanya untuk membeli beras. Bahkan, 4 orang kakaknya tidak sekolah gara-gara tak punya biaya.

"Dulu waktu kecil, ada anak tetangga buang apelnya di halaman rumah. Saya ingin sekali makan apel, tapi orang tua tak punya uang. Sorenya, saya ambil yang dibuang itu, saya makan. Begitu pedihnya saya waktu kecil," kenangnya sambil bercucuran air mata.

Kepedihan di masa lalu itulah yang membuat Iis memiliki rasa kasihan berlebih kepada anak-anak tersebut. Dia bercita-cita terus mengembangkan rumah asuh ini agar kelak menjadi Panti Asuhan yang berbasis Pondok Pesantren. Sasarannya agar mereka yang lulus dari asuhannya kelak menjadi penghafal Al-quran.

"Sekarang kan konsepnya rumahan. Mudah-mudahan nanti bisa jadi panti asuhan dan menampung anak-anak terlantar lebih banyak," katanya.

Selain bantuan donatur, Ummy Iis juga punya bakat lain membantu perekonomian untuk menghidupi anak-anak tersebut. Dia membuka praktek pengobatan tradisional berupa bekam dan batangai atau mandi uap. Namun, dia tidak mematok tarif biaya pengobatan.

"Konsepnya tetap sedekah. Siap yang datang dikasih seberapa inginnya saja. Kami tidak pakai tarif. Alhamdulillah ini cukup membantu saya dan anak-anak," katanya.

Menariknya lagi, setelah melihat dampak positif dari gerakan Iis, banyak tetangga dan masyarakat yang kini ikut mendukung kegiatan. Orang-orang yang dulu mencibir, kini pun ikut membantu. Lebih-lebih para perantau Tanah Datar dan warga Minang di luar Sumbar.

"Banyak orang yang ingin berbuat baik. Maka kami salurkan jalannya dengan sebaik-baiknya," tuturnya.

Menggerakkan Semangat Kepedulian Sosial

Gerakan Sedekah Seribu Sehari itu dianggap membangun dan menggerakkan semangat kepedulian di tengah masyarakat. Apalagi, penggerak dari komunitas tersebut hanyalah seorang perempuan tak berada, bahkan menderita kanker.

Sahabat Iis semasa SMK, Hijrah Adi Sukrial mengaku salut dengan perjuangan teman semasa sekolahnya itu. Menurutnya, Sri Chandra Nurlaili merupakan perempuan yang tangguh dan pantang menyerah. Dia tidak pernah mengeluh dengan semua kesulitan yang dilaluinya.

"Dia jadi relawan Sedekah Seribu Sehari karena pengamalan pahitnya tak punya uang untuk berobat. Dia memikirkan orang lain agar tidak merasakan pedihnya kesulitan biaya," katanya kepada Suara.com, Senin (21/11/2022).

Menurut tokoh muda Tanah Datar itu, Iis mengetuk hati para dermawan dengan gerakan sedekah. Ini tidak saja berdampak pada orang-orang kaya, namun juga menggugah hati para tetangga untuk berbagi. Lebih-lebih kini Iis juga melahirkan rumah asuh bagi anak-anak terlantar.

"Sebagai teman dan masyarakat di Tanah Datar, saya bangga punya sosok sahabat seperti Iis. Jadi relawan itu butuh tenaga, pikiran dan waktu. Tidak mudah jadi dia," katanya.

Atas dasar itulah dulu Hijrah mendaftarkan sahabatnya itu untuk dapat menerima penghargaan SATU Indonesia Award. "Saya anggap dia pantas sekali. Tidak banyak orang yang berpunya, perempuan lagi, berjuang memikirkan nasib orang lain. Dia kami anggap betul-betul menginspirasi orang banyak untuk saling peduli," tuturnya.

Terpisah, Bupati Tanah Datar Eka Putra pun mengapresiasi gerakan komunitas Sedekah Seribu Sehari. Menurutnya, aksi sosial itu telah membantu tugas pemerintah dalam meringankan beban masyarakat.

Eka mengatakan, Sri Chandra seorang perempuan yang tidak pernah lelah memperjuangkan orang-orang susah agar dapat bantuan sosial dan jaminan sosial dari pemerintah.

"Yang paling kami apresiasi, dia (Iis) tidak pernah mengeluh dan menyalahkan pemerintah. Seandainya ada yang terluput, dia bantu dulu dengan swadaya, sembari dicarikan solusi dari pemerintah," katanya.

Eka juga telah meminta Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, seperti Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan bagian Kesejahteraan Masyarakat (Kesra) Pemkab Tanah Datar untuk berkoordinasi dan mengakomodir masyarakar terlantar yang dijembatani S3 Lintau.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak