SuaraSumbar.id - Indonesia Corruption Watch atau ICW menemukan kejanggalan dalam pemakaian helikopter Ketua KPK Firli Bahuri saat pulang kampung ke Sumatera Seatan.
ICW menduga ada unsur gratifikasi dalam pemakaian helikopter oleh Ketua KPK Firli Bahuri. ICW sudah melaporkan kasus ini ke Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI, awal Juni 2021.
“Mestinya kasus ini sudah masuk ranah pidana,” ujar peneliti ICW, Wana Alamsyah, Sabtu, 19 Juni 2021.
Laporan ICW menyoal layanan helikopter yang digunakan Firli ketika pulang kampung untuk keperluan ziarah ke makam ibunya di Baturaja, Sumatera Selatan. Firli terbang bersama istri dan kedua anaknya, Sabtu 20 Juni 2020.
Baca Juga:Uang Lebaran dari Mataram: Daftar Dugaan Suap Ketua KPK Firli Bahuri
Ia diketahui menggunakan armada itu dari Palembang menuju Baturaja, pulang-pergi. Helikopter milik PT Air Pasifik Utama itu juga ia pergunakan untuk perjalanan pulang ke Jakarta pada hari yang sama.
Indikasi gratifikasi terungkap setelah ICW menelusuri harga sewa dari sembilan perusahaan penyedia layanan helikopter di Indonesia.
Menurut Wana, informasi itu mereka perlukan untuk menentukan rerata atau nilai kewajaran biaya sewa helikopter per jam.
Termasuk di dalamnya komponen biaya lain yang dibebankan kepada para pengguna seperti pemakaian bahan bakar avtur dan pajak.
Hasil penelurusan ICW, biaya sewa helikopter ada di kisaran Rp 39,1 juta per jam. Angka itu jauh berbeda dengan pengakuan Firli yang membayar sewa sebesar Rp 7 juta.
Baca Juga:Jejak Firli Bahuri di KPK: Dugaan Bocornya Kasus hingga Taktik 'Mengunci' Pemimpin Lain
Wana menduga, terdapat indikasi gratifikasi dari selisih biaya itu. Sebab, PT Air Pasifik Utama merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan Lippo Grup itu.
“Komisaris perusahaan itu pernah menjadi saksi dalam kasus suap izin Meikarta,” kata dia.
Tak hanya ICW yang tergelitik melakukan verifikasi ketidakwajaran harga. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi, Boyamin Saiman, mengaku melakukan hal serupa.
Meski tak sama persis, harga sewa yang ia peroleh tak jauh beda. Biaya sewa helikopter PK-JTX, kata dia, sekitar Rp 35 juta per jam.
Helikopter jenis itu lebih rendah dari yang disewa Firli. “Saya sudah melaporkan ke Direktorat Gratifikasi. Tapi belum direspons,” kata dia.
Dewan Pengawas KPK pernah melakukan pemeriksaan kasus ini. Pemeriksaan itu berujung pada kesimpulan adanya pelanggaran etik.
Firli dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis II. Dewas KPK menilai alasan Firli menggunakan helikopter tidak berdasar.
Anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris, mengatakan tak bisa menindaklanjuti laporan ICW maupun Boyamin karena kasus itu sudah tutup buku.
“Kasus itu sudah kami periksa,” kata Syamsuddin Haris.
Menurut Wana, laporan yang ia buat kali ini berbeda dengan materi pemeriksaan Dewas ketika itu.
Dia menjelaskan, pemeriksaan Dewas KPK saat itu tidak berusaha mendalami validitas harga yang dibayarkan Firli. Dewas hanya menerima begitu saja pengakuan yang disampaikan oleh Firli.