Riki Chandra
Jum'at, 24 Oktober 2025 | 22:15 WIB
Ilustrasi palu persidangan (pexels/Sora Shimazaki)
Baca 10 detik
  •  Talak di luar pengadilan tidak sah menurut hukum dan fikih.

  • Perceraian wajib dilakukan di depan sidang pengadilan agama.

  • Aturan ini melindungi keluarga dan menjaga kepastian hukum Islam.

SuaraSumbar.id - Dalam praktik kehidupan rumah tangga, perceraian sering kali menjadi jalan terakhir ketika hubungan suami istri tak lagi bisa dipertahankan. Namun, di Indonesia, talak di luar pengadilan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.

Mengutip ulasan situs resmi Muhammadiyah, berdasarkan peraturan perundang-undangan, talak baru dianggap sah apabila diucapkan di depan sidang pengadilan agama.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (yang telah diperbarui menjadi UU Nomor 3 Tahun 2006), perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Artinya, perceraian wajib diproses secara hukum, baik melalui permohonan suami (cerai talak) maupun gugatan istri (cerai gugat).

Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menegaskan, meski perceraian termasuk ranah pribadi, dampaknya sangat luas bagi keluarga dan masyarakat.

Oleh karena itu, pengaturan hukum menjadi penting untuk menjaga ketertiban sosial dan melindungi pihak-pihak yang rentan, terutama anak dan istri.

Talak Menurut Fikih dan Syariat Islam

Dalam pandangan syariat Islam, talak memang diperbolehkan, tetapi bukan perkara ringan. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Perkara halal yang paling dibenci Allah Ta‘ala adalah talak.”
(HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi)

Hadis tersebut menegaskan bahwa perceraian harus menjadi pilihan terakhir. Dalam fikih klasik, suami bisa menjatuhkan talak kapan saja dan di mana saja, dan talak itu langsung sah.

Namun, dalam konteks masyarakat modern, praktik seperti itu menimbulkan banyak persoalan, mulai dari hilangnya kepastian hukum hingga kerugian bagi perempuan dan anak-anak.

Untuk mencegah hal itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 115 dan 123 menetapkan bahwa talak hanya sah jika dilakukan di depan sidang pengadilan.

Talak baru dinyatakan resmi setelah diikrarkan di sana. Aturan ini merupakan bentuk ijtihad hukum Islam modern yang sah secara syariat.

Dalam kaidah fikih disebutkan:

“Tidak diingkari adanya perubahan hukum karena perubahan zaman.”

Perubahan ini sejalan dengan semangat Islam yang menempatkan kemaslahatan umat sebagai prioritas utama. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah juga menegaskan bahwa fatwa bisa berubah sesuai perubahan zaman, tempat, dan keadaan.

Load More