Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Minggu, 02 April 2023 | 12:19 WIB
Aktivitas membantik di luar ruangan Rumah Batik Dewi Busana Lunang di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Sumbar). [Dok.Dewi Hapsari Kurniasih]

SuaraSumbar.id - Hasil karya Rumah Batik Dewi Busana Lunang sudah 'terbang' ke Belanda hingga Amerika Serikat. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) itu mampu melewati pandemi Covid-19 dengan ragam ivonasi yang berhasil menggenjot pendapatan. Kain batiknya rutin keliling Nusantara dengan jasa kurir PT Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) saat virus corona mengisolasi pergerakan masyarakat di Indonesia. Bagaimana kisahnya?

Rumah Batik Dewi Busana Lunang berada di Nagari Lunang, Kecamatan Lunang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Sumbar). Usaha batik itu dirintis sejak 2012 oleh ibu rumah tangga (IRT) bernama Dewi Hapsari Kurniasih. Keinginannya membatik berawal dari keprihatinan terhadap eksistensi batik tanah liek motif terumbu karang asli Pesisir Selatan yang sulit ditemukan.

"Kita punya motif, tapi mencetaknya di Jawa. Kami termotivasi untuk mengeksiskan kembali batik khas dari Pesisir Selatan itu," kata Dewi memulai perbincangan dengan SuaraSumbar.id, Jumat (24/3/2023) sore.

Dewi mulai membatik setelah mendirikan toko busana (butik). Darah membatiknya ternyata memang sudah mengalir dari keluarga yang berasal dari Pulau Jawa. Dulu, sang kakek juragan batik di Yogyakarta. Perempuan 47 tahun itu lahir di Ranah Minang karena orang tuanya berstransmigrasi ke Lunang Silaut tahun 1973 silam.

Baca Juga: Pakai Batik Hingga Jersey Timnas di Panggung Hammersonic 2023, Vokalis Trivium: Aku Cinta Indonesia!

Dewi pun belajar ke para pengrajin batik di Kecamatan Lunang. Mula-mula, produksi batik yang digelutinya secara manual, baru sebatas dijadikan untuk pakaian sendiri dan keluarga. Setahun berjalan, ia mengajukan proposal bantuan peralatan untuk pengembangan usaha batik printing. Alhasil, bantuan tersebut diperolehnya tahun 2013-2014.

"Kami dapat bantuan peralatan printing manual dari pemerintah pusat. Gedung untuk produksinya dikasih juga sama pemerintah daerah Pesisir Selatan," kata Sarjana Tata Busana Universitas Negeri Padang (UNP) itu.

Dewi mengaku memilih batik printing karena produksinya mudah dan harganya terjangkau. Pemasaran batiknya pun tidak terlalu rumit, seperti batik cap dan tulis yang biasanya dipesan oleh kalangan menengah ke atas. "Batik printing murah dan mudah. Biasanya digunakan untuk seragam. Alhamdulillah awal-awal itu langganan kami cukup banyak dari pemerintah dan masyarakat di Pesisir Selatan," katanya.

Sejak saat itu, Rumah Batik Dewi Busana Lunang mulai memproduksi batik printing jenis tanah liek. Ia memberdayakan ibu-ibu rumah tangga hingga melatih lulusan SMA yang belum melanjutkan kuliah untuk membatik. "Saya berdayakan masyarakat sekitar rumah saja. Hitung-hitung cari duit tambahan bagi ibu rumah tangga yang mau, daripada ngerumpi," bebernya yang enggan merinci omzet awal usahanya berjalan.

Dewi tak hanya puas dengan batik printing. Ia terus mengasah kemampuannya membatik dengan mengikuti ragam pelatihan di berbagai daerah. Mulai dari pelatihan pembuatan batik cap hingga batik tulis. Sekitar tahun 2018, Rumah Batik Dewi Busana Lunang mulai mengembangkan tiga jenis produksi batik; batik printing, batik tulis atau batik tradisional dan batik cap.

Baca Juga: Konser di Indonesia, Treasure Ungkap Keinginan Keliling Jakarta, Bikin Batik Hingga Makan Sate

Motif batik yang dilahirkan Dewi betul-betul mengambarkan identitas Minangkabau. Hal ini pula yang mengundang perantau dari dalam dan luar negeri memesan batiknya. Sejak mengembangkan tiga jenis batik itu pula, pemasaran batik Dewi makin berkembang dan menyasar berbagai daerah di Sumbar. Bahkan, pasarannya sudah tembus ke Jambi, Riau, Bengkulu, Medan, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga ke Belanda dan Kanada.

"Alhamdulillah, sudah hampir menjelajah berbagai daerah di Indonesia produksi batik kami. Ini tidak terlepas dari berbagai kesempatan promosi yang difasilitasi pemerintah daerah di berbagai kesempatan dan daerah lain," tutur Ketua Himpunan Wirausaha Transmigrasi (HW-Trans) Kota Terpadu Mandiri (KTM) Transmigrasi Lunang Silaut itu.

Keberhasilan Dewi sebagai pengrajin batik tidak terlepas dari pemerintah karena usahanya berada di bawah binaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan Pemkab Pesisir Selatan. Hampir setiap tahun sejak 2016 lalu, Dewi diundang mengisi pameran hingga pembicara di berbagai daerah.

Rumah Batik Dewi Busana Lunang juga kerap digandeng untuk memberikan pelatihan membatik bagi ibu-ibu. Menurutnya, peminat kerajinan membatik sudah mulai tinggi. Sebab, usaha membatik hari ini tidak hanya sebagai hoby, akan tetap sudah mendatangkan pundi-pundi rupiah yang bisa menyokong ekonomi keluarga.

"Sekarang batik sudah jadi pakaian resmi pemerintah, swasta dan termasuk juga untuk anak-anak sekolah. Pengrajin batik yang serius tentu akan mendapatkan keuntungan dalam bisnis UMKM batik ini," katanya.

Usaha batik Dewi makin terkenal sejak menghadirkan motif batik Mandeh Rubiah. Motif tersebut memiliki keunikan dan nilai sejarah yang tinggi, khususnya bagi masyarakat Pesisir Selatan dan Sumbar. Kemunculan motif batik Mandeh Rubiah berawal dari hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Andalas (Unand).

Motif batik Mandeh Rubiah terinspirasi dari naskah kuno yang diperkirakan berumur lebih dari 200 tahun lalu di Rumah Gadang Mandeh Rubiah, Pesisir Selatan. Motif ini diluncurkan tahun 2019 dengan empat motif awal. "Batik Mandeh Rubiah unik dan istimewa. Motifnya berasal dari ilimunasi naskah kuno yang kaya nilai sejarah. Sekarang sudah dikenal luas oleh masyarakat," bebernya.

Selain di dalam negeri, motif Batik Mandeh Rubiah juga telah dikenalkan dalam New York Fashion Week (NYFW) di Amerika Serikat (AS) beberapa waktu lalu. Kesempatan itu juga dimanfaatkan oleh Dewi untuk mencari peluang pemasaran lewat para perantau Minang.

Pelopor Batik Motif Corona

Setahun pasca mengenalkan motif batik Mandeh Rubiah, virus corona mewabah. Tak terhitung jumlah UMKM gulung tikar karena anjloknya omzet. Berdasarkan data survei Bank Indonesia tahun 2021 saja, 87,5 persen dari sekitar 64,2 juta UMKM di negeri ini terdampak pandemi. Mirisnya, dari jumlah yang terdampak, 93,2 persen bermasalah di sisi penjualan.

Dewi pun pernah merasakan kondisi yang cukup berat saat terpapar Covid-19 di akhir 2020. Ia harus menjalani isolasi mandiri bersama sejumlah keluarganya. Dalam kondisi stres terjangkit virus yang cukup mematikan itu, ia tetap berpikir bagaimana melahirkan ide agar batiknya tetap laku di tengah pandemi.

"Namanya terpapar Covid-19 tentu cemas juga. Tapi waktu isolasi mandiri, saya mikir gimana ya cara memanfaatkan momen ini untuk melahirkan motif-motif baru," katanya.

Salah satu batik motif corona yang membuat Rumah Batik Dewi Busana Lunang bangkit saat pandemi Covid-19. [Dok.Dewi Hapsari Kurniasih]

Selama isolasi mandiri, Dewi melihat di televisi dan pemberitaan media online tentang virus corona yang digambarkan dalam berbagai bentuk. Dari situlah tiba-tiba tercetus di kepalanya untuk melahirkan motif corona. Tanpa pikir panjang, ia pun langsung mengeksekusi gagasan tersebut.

"Saya gambar virus corona dan bikin cetakannya hanya dari kertas. Kemudian, saya tempel ke kain dan ternyata bentuknya cukup menarik," kenangnya.

Agar virus Covid-19 tak terkesan menakutkan dijadikan gambar baju, Dewi memberi motif corona dengan warna-warna terang dan mencolok. Mulai dari kuning, hijau, merah, biru hingga orange. "Intinya orang pas melihat motif ini bilang keren dan bukan takut. Makanya kami bikin motifnya dengan warna terang sekali," katanya.

Setelah selesai isolasi mandiri, barulah Dewi kembali fokus menggarap motif corona untuk dipamerkan ke Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Pesisir Selatan. Ternyata temuannya diapresiasi oleh Pemkab Pesisir Selatan hingga akhirnya resmi diperkenalkan ke publik awal 2021 dengan nama batik motif corona.

Motifnya dibuat dengan model batik printing dan batik cap. Batik printing dibanderol Rp 60 ribu per meter dan batik cap seharga Rp 250 ribu per dua meter. Alhasil, nama batik motif corona pun populer. Pesanan datang dari berbagai daerah. Omzet Rumah Batik Dewi Busana Lunang otomatis meningkat. Bahkan, karyawannya yang semula hanya 4 orang bertambah menjadi 10 orang saat pandemi Covid-19.

"Alhamdulillah jauh meningkat. Bisa buat bayar cicilan Rp 10 juta sebulan, bayar karyawan 10 juta lebih. Bisa buat kebutuhan anak kuliah juga," kata Dewi yang enggan menyebut angka pasti omzet usahanya.

Percaya JNE

Usaha yang digeluti Dewi tentu saja bergantung kepada jasa pengiriman barang. Apalagi, pesanan batiknya berasal dari berbagai daerah di Indonesia hingga luar negeri. Salah satu kunci sukses Rumah Batik Dewi Busana Lunang adalah mampu menjaga kepercayaan pelanggan dengan mengirimkan barang tepat waktu dan tanpa cela.

Menurut Dewi, menjaga kepercayaan pelanggan merupakan kunci utama dalam dunia perdagangan. Atas alasan itu pula ia memilih jasa kurir JNE sebagai ujung tombak pemasaran produknya ke berbagai daerah di Tanah Air. "Jujur, sejak pesanan sudah banyak datang dari luar daerah Sumbar, saya selalu pakai JNE. Sudah lama sebetulnya, tapi yang rutin sejak 2019," ceritanya.

Tak hanya untuk mengirimkan barang dari Pesisir Selatan ke daerah lain, Dewi juga meminta koleganya mengirimkan bahan mentah batik dari Solo hingga Yogyakarta kirim pakai JNE. "Saya telpon mereka (penjual di Jawa) untuk kirimkan barang pakai JNE kargo saja. Saya nggak mau pakai yang lain," katanya.

Dewi punya beragam alasan akhirnya memilih JNE dalam semua urusan pengantaran produk dagangan batiknya ke luar kota. Pertama soal ketepatan waktu dan tidak pernah salah alamat alias paket salah sasaran. KJNE juga hanya menakar harga barang kiriman dengan berat, bukan dengan volume panjang hingga lebar.

Dewi juga memuji sikap kurir JNE yang komunikatif. Selain itu, ongkos kirim (ongkir) JNE juga hemat di kantong. Apalagi, banyak program JNE yang dipilih dalam pengiriman barang.

"Saya percaya JNE itu amanah. Barang kiriman saya selalu sampai tepat waktu dan bisa dilacak keberadaannya. Hampir tidak ada kelemahan JNE di mata saya selama menggunakan jasanya," tuturnya.

Sebelum mempercayakan pengiriman lewat JNE, Dewi pernah menggunakan jasa kurir lain membuatnya kecewa. Saking kesalnya, ia sampai mengumumkan kekecewaannya di media sosial (medsos). "Pernah saya umumkan di Facebook. Saya bilang ke teman-teman tak usah pakai jasa kurir itu, pakai JNE saja," katanya.

Kemarahan Dewi lantaran barang kirimannya tak kunjung sampai ke alamat yang sudah dituliskan. Paketnya dilaporkan hilang entah kemana. "Sejak saat itu, saya tidak mau lagi pakai jasa kurir tersebut. Entah kemana-mana barang kita dikirimnya. Kepercayaan pelanggan ini yang dijaga JNE, makanya saya percaya," katanya.

Dorong Pelaku UMKM Melek Digital

Layanan pengiriman paket dan dokumen JNE di dalam negeri telah tersebar lebih di 1.500 titik. Pelanggan bisa memilih beragam sistem pengiriman barang yang ditawarkan. Mulai dari COD JNE, Super Speed (SS), PESONA (Pesanan Oleh-oleh Nusantara), YES (Yakin Esok Sampai), REG (Reguler), OKE (Ongkos Kirim Ekonomis), dan lain sebagainya.

JNE mendorong agar pelaku UMKM melek digital, sehingga bisnisnya bisa tumbuh dan berkembang secara online. Empat tahun lalu, JNE juga telah menginisiasi program "Go Digital Marketing" yang dipersembahkan untuk pelaku usaha di seluruh Indonesia.

Memeriahkan HUT ke-32 bertema "Bangkit Bersama", JNE kembali menggelar "JNE Ngajak Online 2023". Program yang telah hadir sejak 2017 itu bertujuan untuk memberikan edukasi tentang strategi penjualan di era digital untuk meningkatkan potensi UMKM. Kegiatan tersebut diselenggarakn di 10 kota; Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Makassaar, Medan, Pontianak, Palembang dan Denpasar.

VP of Marketing JNE, Eri Palgunadi mengatakan, JNE berkomitmen mendukung kemajuan bisnis UMKM agar berkontribusi untuk kemajuan dan pemulihan perekonomian nasional pasca dilanda wabah Covid-19. Menurutnya, salah satu yang hal penting dalam menunjang bisnis online tersebut adalah jasa pengiriman.

"UMKM memiliki potensi berkembang jika dapat memaksimalkan penjualan secara online," katanya dalam rilis resmi pada Jumat (17/3/2023).

Tahun-tahun sebelumnya, JNE juga mempersembahkan Hari Bebas Ongkos Kirim (Harbokir) untuk semua pelanggan setia perusahaan asli Indonesia itu. Program Harbokir juga membantu pelaku UMKM berinovasi dan meningkatkan penjualan saat pandemi Covid-19 menggila di tahun 2021 silam.

Sebagai perusahaan asli dalam negeri, kata Eri Palgunadi, JNE memiliki tanggungjawab sosial untuk memajukan perekonomian bangsa, salah satunya membantu pemasaran produk UMKM dengan memastikan pengirimannya tepat waktu.

#JNE32tahun
#JNEBangkitBersama
#jnecontentcompetition2023
#ConnectingHappiness

Load More