SuaraSumbar.id - Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa anak-anak transgender ternyata berpotensi mengalami depresi, cemas dan masalah kesehatan mental lainnya, hingga tiga kali lipat.
Dilansir dari The Sun, Dr Ken Pang, yang menjalankan praktik pediatrik yang berfokus pada perawatan anak-anak dan remaja transgender, adalah salah satu penulis studi tersebut.
Dia mengatakan bahwa alasan untuk ini bisa berkisar dari ketidakpuasan gender, stres karena mengalami stigma, dan anak-anak mengalami bentuk diskriminasi lain seperti transfobia.
Para peneliti juga menemukan bahwa anak-anak transgender hampir enam kali lebih mungkin untuk merasa ingin bunuh diri daripada anak-anak cisgender.
Menurut Dr Pang, penelitian sebelumnya telah menunjukkan 'tentang tingkat depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya'. Tetapi tingkat perjuangan kesehatan mental yang diamati pada anak-anak transgender dalam penelitian ini menunjukkan bahwa mereka menghadapi tantangan yang lebih besar daripada yang diperkirakan semula.
Penulis studi menulis bahwa 'penelitian sebelumnya yang menggunakan sampel klinis anak-anak transgender berusia lima hingga 11 tahun melaporkan tingkat depresi dan kecemasan yang lebih rendah daripada yang kami amati dalam studi kohort ini'.
Mereka menambahkan: 'Alasan yang mungkin untuk perbedaan ini adalah bahwa anak-anak transgender yang menghadiri klinik spesialis gender cenderung mendapat dukungan dari keluarga mereka (faktor pelindung utama untuk kesehatan mental remaja transgender); sebagai perbandingan, banyak anak transgender dalam populasi umum tidak memiliki dukungan orang tua untuk jenis kelamin mereka.’
Menurut para peneliti, ini adalah studi pertama yang melaporkan tingkat masalah terkait DSM-5 menggunakan sampel populasi yang representatif dari anak-anak transgender.
"Temuan kami menunjukkan bahwa pada usia sembilan hingga 10 tahun anak-anak transgender sudah menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap masalah kesehatan mental dibandingkan dengan rekan-rekan cisgender mereka, yang memiliki implikasi kesehatan masyarakat yang penting," tulis mereka.
Baca Juga: Jangan Anggap Remeh, Studi Ini Menyebut Anak Hasil Program Bayi Tabung Ternyata Lebih Pintar
'Apakah ini karena stigma, stres minoritas, diskriminasi, atau disforia gender tidak jelas, tetapi memberikan dukungan kesehatan mental yang tepat untuk kelompok rentan ini adalah yang terpenting.' (Suara.com)
Berita Terkait
-
Ciri-Ciri Mental Breakdown, Apa Saja Pemicunya?
-
Pekerja Milenial Lebih Banyak Alami Masalah Mental Saat WFH, Apa Sebab?
-
Anak-anak Dapat Terserang Depresi, Kenali Ciri-cirinya dari Gejala Berikut
-
Ini Alasan Mengapa Covid-19 Dapat Menyebabkan Masalah Kesehatan Mental pada Lansia
-
Sambil Selfie Menangis, Bella Hadid Bahas Perjuangannya Hadapi Masalah Kesehatan Mental
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- Diskon Listrik 50 Persen PLN Oktober 2025, Begini Syarat dan Cara Dapat E-Voucher Tambah Daya!
- Shin Tae-yong Batal Comeback, 4 Pemain Timnas Indonesia Bernafas Lega
- 7 Rekomendasi Smartwatch untuk Tangan Kecil: Nyaman Dipakai dan Responsif
- 5 Bedak Padat yang Cocok untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Samarkan Flek Hitam
Pilihan
-
Harga Emas Hari Ini: Galeri 24 dan UBS Sentuh Rp 2,4 Juta di Pegadaian, Antam Nihil!
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
Terkini
-
Heboh! 5 Link ShopeePay Gratis Tersebar, Kesempatan Dapat Rp2,5 Juta Cuma Sekali Klik
-
Ibu Muda Buang Bayinya yang Terpotong 3 Bagian di Bukittinggi Ditangkap
-
Resep Perkedel Jagung Renyah, Gurih, Camilan Simpel Favorit Keluarga!
-
Resep Sambel Tempe Kemangi: Pedas dan Bikin Nambah Nasi Terus!
-
Bayi Diduga Baru Lahir Ditemukan di Bukittinggi, Kondisi Terpotong-potong