SuaraSumbar.id - Bayi yang lahir dengan kondisi prematur bisa menjadi potensial penyumbang stunting terbesar jika tidak ditangani dengan tepat. Hal itu dinyatakan dokter Anak Konsultan Neonatologi Prof. Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp. A(K).
"Bayi prematur memang belum waktunya, belum siap. Ini kalau tidak ditangani dengan benar, dia akan menjadi potensial penyumbang stunting terbesar,” kata dokter lulusan Universitas Indonesia itu dalam sesi media gathering secara virtual, Senin (25/7/2022).
Studi mengenai 137 negara berkembang yang dipublikasikan di jurnal PLOS Medicine menyebutkan sebanyak 32,5 persen kasus stunting disebabkan oleh kelahiran prematur. Sementara itu, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2018 menunjukkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) memengaruhi sekitar 20 persen dari terjadinya stunting di Indonesia.
Rina mengatakan bayi dengan kelahiran prematur dan BBLR masuk ke dalam bayi yang berisiko tinggi mengalami stunting.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa bayi prematur terjadi karena pertumbuhan janin yang lebih lambat jika dibandingkan pertumbuhan normal saat masih di dalam kandungan. Namun apabila bayi prematur masih mampu bertahan hidup dan ditangani secara baik dan benar, maka bayi tersebut dapat terhindar dari risiko stunting.
Bayi prematur kemungkinan besar akan mengalami BBLR. Namun sebaliknya, BBLR belum tentu dikatakan sebagai bayi prematur. Bayi prematur dilihat dari waktu kelahiran dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu, sementara BBLR dilihat dari berat lahir yang kurang dari 2.500 gram tanpa memandang usia gestasi.
“Di Indonesia dan beberapa negara berkembang dengan permasalahan pada bayi bisa saja lahir cukup bulan tetapi (tubuhnya) kecil sehingga kita sebut bayi itu BBLR,” kata Rina.
Rina menjelaskan risiko stunting dapat terjadi ketika bayi masih berada di dalam kandungan. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Food and Nutrition Bulletin pada 2009 menyebutkan 20 persen kejadian stunting sudah terjadi sejak saat kelahiran sementara 80 persen terjadi setelah kelahiran.
“Jadi bisa kita cegah yang 80 persen itu. Ada bayi yang tidak tumbuh di dalam kandungan, masih bisa kita kejar (pertumbuhannya setelah kelahiran). Tapi ada juga bayi yang lahirnya bagus, lalu tidak diurus dengan benar (setelah kelahiran),” kata Rina.
Baca Juga: Ini Perbedaan Bayi Lahir Prematur dengan Bayi Berat Badan Lahir Rendah
Oleh sebab itu, Rina menekankan pentingnya pemantauan tumbuh dan kembang anak pada 1.000 hari pertama kehidupan dimulai sejak dalam kandungan (270 hari) hingga anak berusia dua tahun (730 hari). Rina mengatakan orang tua juga harus tetap memantau anak setelah usia dua tahun sehingga tumbuh-kembang bisa optimal.
Rina mengatakan bahwa stunting sebaiknya jangan dilihat dari tanda fisik, melainkan diidentifikasi melalui perkembangan grafik yang menyeluruh pada buku kesehatan ibu dan anak (KIA) atau buku KIA Khusus Bayi Kecil bagi BBLR. Sebab itu, Rina mengajak agar para orang tua dapat memahami bagaimana cara mengukur, menimbang, hingga membaca grafik yang tepat sehingga stunting bisa dicegah.
“Stunting itu bukan dilihat pakai mata, tapi harus dideteksi secara aktif. Jadi, apa boleh buat,” ujarnya.
Rina mengatakan stunting memiliki dampak yang berbahaya, salah satunya terkait dengan perkembangan kecerdasan intelektual (IQ). Mengingat hal tersebut, ia juga menekankan pentingnya orang tua bersama tenaga kesehatan melakukan pengukuran antropometri pada lingkar kepala.
Ia menambahkan bahwa periode hingga anak berusia dua tahun itu merupakan periode emas untuk pertumbuhan otak. Sebesar 83 persen dari total volume otak dewasa tumbuh di usia dua tahun, jelasnya.
Selain lingkar kepala, pengukuran juga diperlukan pada berat badan dan panjang badan sehingga tumbuh-kembang anak bisa optimal. Pengukuran tersebut harus mengikuti pedoman buku KIA.
“Kalau masih malas juga, sebenarnya ada yang namanya aplikasi Pradini. Untuk bayi cukup bulan ada Primaku. Itu sudah dimasukkan oleh Menteri Kesehatan, ibu-ibu bisa ikut aplikasi itu, masukkan (hasil pengukuran) kalau males bawa-bawa buku,” katanya. (Antara)
Berita Terkait
-
Penelitian: Makan Permen Karet Tanpa Gula Turunkan Risiko Bayi Lahir Prematur
-
Pemerintah Targetkan Penurunan Angka Stunting Tahun 2022 Hingga 3 Persen
-
Mencegah Kasus Stunting Sejak Ibu dalam Keadaan Hamil, Ini Caranya
-
Krisis Iklim Global Telah Memengaruhi Kesehatan, Terutama Perkembangan Janin, Bayi, serta Ibu Hamil
-
Bukti Penelitian, CDC Tegaskan Vaksin Covid-19 Tidak Sebabkan Bayi Lahir Prematur
Terpopuler
- Tanpa Naturalisasi! Pemain Rp 2,1 Miliar Ini Siap Gantikan Posisi Ole Romeny di Ronde 4
- Akal Bulus Dibongkar KPK, Ridwan Kamil Catut Nama Pegawai Demi Samarkan Kepemilikan Kendaraan
- Bocor! Timnas Indonesia Naturalisasi 3 Pemain Keturunan, Ada dari Luar Eropa
- Timnas U-23 ke Final, Tante Brandon Scheunemann: Scheunemann for Indonesia
- Siapa Mike Rajasa? Kiper Muda FC Utrecht yang Dipanggil ke Timnas Indonesia U-17
Pilihan
-
Danantara Kantongi 1 Nama Perusahaan BUMN untuk Jadi Holding Investasi, Siapa Dia?
-
Tanpa Banyak Rumor, Vinicius Dikabarkan Merapat ke Persekat Tegal
-
Penikmat Sound Horeg Ngumpul, Ini 5 Speaker Murah Bikin Musik Jedag-Jedug Ngebass Badak
-
Gibran Prediksi Vietnam 'Babak-belur' di Tangan Timnas Indonesia U-23
-
Ribut-ribut Soal Ijazah Jokowi, Luhut: Kontribusi Kau Buat Negara Apa?
Terkini
-
Keren! Mahasiswa ISI PP Raih Magister Lewat Tesis Mitos Inyiak Balang dalam Fotografi Dokumenter
-
Perusakan Rumah Doa Jemaat Kristen di Padang Berakhir Damai, Wali Kota: Bukan Perselisihan Agama!
-
Kasus Kericuhan Rumah Doa Umat Kristen di Padang, 9 Orang Ditangkap Polisi!
-
Kucing Emas Terjerat Perangkap Babi di Pasaman
-
Wanita Hamil Tujuh Bulan Ditangkap Edarkan Sabu di Pesisir Selatan Sumbar