Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Jum'at, 13 Mei 2022 | 15:15 WIB
Tuddukat warga Mentawai. [Dok.Antara]

SuaraSumbar.id - Tuddukat merupakan kearifan lokal warga di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang tetap bertahan dan digunakan sebagai penyampai kabar gembira dan duka. Hal itu dinyatakan Antropolog Universitas Andalas (Unand) Padang Dr Maskota Delfi.

"Tuddukat merupakan sesuatu yang dipukul kemudian menghasilkan bunyi, digunakan sebagai penyampai berita gembira dan berita sedih bagi masyarakat Mentawai," katanya, Jumat (13/5/2022).

Ia mengatakan, untuk berita gembira tuddukat dibunyikan saat mendapatkan hasil buruan atau uba sebagai pemberitahuan kepada anggota uma atau rumah tradisional suku Mentawai.

"Makanya bunyinya agak cepat dan bernada gembira," katanya.

Baca Juga: Pj Bupati Mentawai Kewenangan Kemendagri, SK Segera Terbit

Kemudian untuk penyampai berita kesedihan seperti kematian, tuddukat dipukul dengan pelan. Saat menyampaikan kabar duka, tuddukat dipukul amat berhati-hati agar tidak salah penyampaian dan penerimaan.

Ia mengemukakan saat berita gembira seperti mendapatkan hewan buruan disampaikan lewat tuddukat yang secara filosofis artinya ada semangat berbagi daging kepada anggota uma atau rumah tradisional Mentawai.

"Selain itu juga menunjukkan prestasi karena tidak semua orang terampil dan ahli dalam berburu," katanya.

Sedangkan untuk kabar sedih dalam pemahaman orang Mentawai jika disampaikan secara mendadak tidak baik karena akan menimbulkan kekagetan.

"Oleh sebab itu melalui bunyi tuddukat dipandang mengurangi rasa sedih dan kaget tersebut setelah ada yang meninggal," katanya.

Baca Juga: Viral Kostum Spiderman Kearifan Lokal, Warganet: Peter Parker Keterima CPNS

Pada sisi lain, ia melihat penggunaan tuddukat lebih efektif sebagai penyampai pesan di masyarakat Mentawai yang masih alami.

Sebab tidak butuh listrik hingga sinyal seluler dan daya jangkaunya bisa terdengar jauh.

Ke depan ia menilai tuddukat juga berpeluang sebagai penyampai pesan saat ada bencana alam dengan catatan harus ada kreativitas dan memastikan bunyi tersebut bisa dipahami bersama.

Tuddukat merupakan media penyampai informasi warga Mentawai menyerupai kentongan namun ukurannya jauh lebih besar dengan panjang hingga dua meter dan diameter sekitar 60 centimeter.

Tuudukat dipahat dari kayu kulim yang dikenal keras dan liat. Pada bagian tengah dibuat rongga untuk menciptakan nada yang khas.

Seperangkat tuddukat terdiri atas tiga gelondong kayu kulim yang bentuknya sama namun ukurannya berbeda kemudian letakan dibariskan sejajar di loteng beranda depan uma.

Tuddukat paling besar disebut ina, ukuran sedang sileleite dan yang paling kecil disebut toga. Masing-masing tuddukat punya nada tersendiri.

Yang paling besar akan mengeluarkan bunyi vokal i dan u, yang menengah bunyi e dan o serta yang paling kecil vokal a menyerupai cara kerja kode morse.

Untuk memainkan tuddukat dipukul menggunakan dua kayu kecil berbentuk bulat yang disebut tetek.

Menurut Teteu Aikub Sakalio yang merupakan kepala suku Sakalio di Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan tuddukat tidak boleh dibunyikan oleh sembarangan orang dan hanya kepala suku yang berhak memukulnya.

"Ada uma pasti ada tuddukat sebagai tradisi budaya Mentawai," katanya. (Antara)

Load More