Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Selasa, 08 Maret 2022 | 20:44 WIB
Aksi kekerasan di Afghanistan. [Antara/Reuters]

SuaraSumbar.id - PBB mengungkapkan bahwa hampir 400 warga sipil tewas dalam serangan di Afghanistan. Peristiwa itu terjadi sejak Taliban mengambil alih atau menguasai negara tersebut.

Sekitar 80 persen korban tewas di antaranya adalah kelompok yang berafiliasi dengan ISIS.

Kondisi itu menyoroti skala pemberontakan yang dihadapi penguasa baru. Ini merupakan laporan HAM utama pertama sejak Taliban merebut kekuasaan dari bekas pemerintahan yang didukung AS pada Agustus, yang memicu kekhawatiran di Negara Barat tentang kemunduran yang meluas atas hak-hak kaum perempuan, jurnalis dan lainnya.

Laporan itu mencakup periode dari Agustus 2021 hingga akhir Februari 2022 dan tertulis bahwa 397 warga sipil tewas dalam sebagian besar serangan kelompok Islamic State Khorasan (ISIS-K).

Baca Juga: Minta Tolong ke Jokowi, Imigran Afghanistan: Kami 10 Tahun di Sini Tak Boleh Kerja, Kuliah Masih Belum Jelas!

Lebih dari 50 orang yang diduga memiliki hubungan dengan kelompok ISIS-K tewas pada periode yang sama, katanya, dengan beberapa diantaranya disiksa, dipenggal dan dibuang di pinggir jalan.

"Kedudukan hak asasi bagi banyak warga Afghanistan sangat memprihatinkan," kata Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Michelle Bachelet, Selasa (8/3/2022).

ISIS-K yang pertama kali muncul di Afghanistan timur pada akhir 2014, diperkirakan telah menyebar pascapengambil alihan Afghanistan oleh Taliban.

Kelompok itu disalahkan atas sederet serangan bunuh diri dalam beberapa bulan belakangan, termasuk serangan di bandara Kabul pada Agustus lalu.

Bachelet juga mengatakan bahwa penguasa Taliban telah membatasi hak dan kebebasan kaum perempuan. Ia meminta agar kaum perempuan diizinkan "berpartisipasi secara penuh" dalam kehidupan masyarakat.

Baca Juga: Perjuangan Pencari Suaka Asal Afghanistan di Jakarta: Saya Minta Tolong ke Presiden Jokowi

Bachelet juga merujuk pada "sejumlah kasus penghilangan paksa" para pegiat dan pengunjuk rasa dan mengutarakan kekhawatiran tentang pengekangan kebebasan berekspresi.

"Saya masih prihatin dengan erosi progresif ruang sipil," ucapnya.

Di bawah pemerintahan mereka terdahulu, selama 1996-2001, Taliban melarang kaum perempuan mengenyam pendidikan. Mereka mengaku bahwa kini telah berubah.

Dewan HAM yang berbasis di Jenewa akan menunjuk seorang pelapor khusus di Afghanistan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran oleh Taliban dan lainnya di akhir sidang dewan saat ini.

Duta Besar HAM Michele Taylor pada Senin mengatakan kepada Dewan bahwa "ini akan menjadi mekanisme penting untuk mencatat pelanggaran".

Ia juga mendesak Taliban agar bekerja sama dengan timnya. (Antara/Reuters)

Load More