Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Rabu, 08 Desember 2021 | 21:26 WIB
Kegiatan Pembinaan Sejarah Minangkabau bertema "Maambiak Contoh Ka Nan Sudah, Maambiak Tuah Ka Nan Manang" yang digelar Dinas Kebudayaan Sumbar di hotel Sakura Syariah, Lubuk Basung, Kabupaten Agam, pada Senin hingga Kamis (2/12/2021). [Dok. Istimewa]

SuaraSumbar.id - Barito (bercerita) merupakan kebiasaan turun-temurun yang telah membudaya di tengah kehidupan masyarakat Minangkabau. Tradisi bacarito bahkan menjadi identitas, bahwa orang Minang itu suko maota (suka berdiskusi).

Banyak ragam bacarito di Sumatera Barat (Sumbar). Ada yang sifatnya formal, dan kebanyakan non formal yang biasa tersaji di lapau-lapau (warung) perkampungan.

Ragam dan fungsi bacarito di Minangkabau ini dikupas oleh pakar komunikasi Universitas Andalas (Unand), Emeraldy Chatra, dalam kegiatan Pembinaan Sejarah Minangkabau bertema "Maambiak Contoh Ka Nan Sudah, Maambiak Tuah Ka Nan Manang" yang digelar Dinas Kebudayaan Sumbar di hotel Sakura Syariah, Lubuk Basung, Kabupaten Agam, pada Senin hingga Kamis (2/12/2021).

"Ada dua tradisi bacarito kita di Minangkabau, yakni Bakaba dan Maota. Keduanya memiliki perbedaan yang kentara," kata Emeraldy dalam forum yang juga dihadiri Mantan Ketua MUI Sumbar, Buya Masoed Abidin, Buya Zuari Abdullah, Buya Aprilia dan para tokoh agama dan adat lainnya.

Baca Juga: Pemprov Sumbar Juga Bakal Kirim 1 Ton Rendang untuk Korban Letusan Gunung Semeru

Bakaba, kata Emeraldy, pola bacaritonya bersifat satu arah. Lalu, penyampaiannya formal diiringi alunan musik. Atas dasar itu, Bakaba memerlukan keahlian khusus. Tradisi ini redup seiring hilangnya orang-orang yang ahli dalam Bakaba. "Kalau maota, bacaritonya dua arah. Tidak pakai musik, tidak formal dan tidak perlu keahlian khusus. Semuanya bisa maota," bebernya.

Maota ini juga banyak jenisnya. Mulai dari maota lapeh (lepas) alias topiknya tidak fokus. Ada juga maota kariang (kering) yang waktunya singkat tanpa ditemani kopi dan teh. Ada pula maota lamak yang waktunya cenderung lebih panjang dan fokus terhadap sesuatu persoalan.

"Ada juga ota nan sabana ota, ini berceritanya mendekati diskusi serius. Lalu, ada ota ruok-ruok yang diselingi dengan candaan, gunjing, dan asal-asalan. Sebagian ada juga ota gadang yang mayoritas ceritanya mengandung unsur fantasi," katanya.

Menurut doktor Ilmu Komunikasi itu, banyak fungsi maota di Minangkabau. Mulai dari pengawasan lingkungan, penyebaran informasi. Kemudian juga menjadi wadah pewarisan kearifan dan silaturahmi.

"Fungsi ini yang harus kita kembalikan. Bagaimana menghidupkan maota, mengevaluasi kelemahannya dan mengajak generasi muda untuk terus merawatnya. Sebab, maota bagian dari komunikasi masyarakat yang sebetulnya tumbuh subur di Minangkabau," katanya.

Baca Juga: Pemprov Sumbar Tiadakan Cuti Natal dan Tahun Baru 2022

Sebelumnya, Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, Gemala Ranti mengatakan, pembinaan sejarah ini merupakan langkah Pemprov Sumbar untuk kembali menghidupkan dan merawat tradisi-tradisi di Minangkabau. Menurutnya, sejara budaya jika tidak dirawat, akan tenggelam dan hilang ditelan zaman.

"Mencintai sejarah Minangkabau tidak sekadar mengangkat nilai-nilai luhur yang tekandung di dalamnya. Tapi juga memberi dampak positif dalam penguatan jati diri dan pembangunan karakter masyarakat Sumbar," katanya.

Dia berharap dengan menggelorakan kembali semangat merawat budaya, kampung-kampung di Sumbar kembali hidup menjaga tradisi. Pihaknya meyakini, menjaga tradisi sejalan menjaga jati diri orang Minangkabau untuk masa depan.

Selain itu, melindungi, memanfaatkan, mengembangkan dan membina dari setiap kekayaan sejarah, budaya dan tradisi ini, juga bagian dari Amanat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.

"Semoga kegiatan ini berdampak baik terhadap keberlangsungan tradisi di Minangkabau yang akan kita wariskan kelak untuk anak cucu," katanya.

Load More