Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Senin, 27 September 2021 | 10:15 WIB
Pakar sosiologi hukum UIN IB Padang, Muhammad Taufik. [Dok.Istimewa]

SuaraSumbar.id - Kasus pidana penjara yang menjerat Bupati Pesisir Selatan Rusma Yul Anwar mendapat perhatian banyak pihak. Pasalnya, perkara dugaan perusakan hutan mangrove tersebut disebut-sebut "sarat" dengan kepentingan politik.

Seperti diketahui, Rusma Yul Anwar dinyatakan bersalah melakukan kegiatan usaha tanpa izin lingkungan yang melanggar pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dia divonis penjara selama 1 tahun dengan denda Rp 1 miliar oleh Pengadilan Negeri Kelas 1A Padang. Pengajuan kasasinya pun ditolak Mahkamah Agung dan saat ini, Rusma sedang berupaya mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA.

Pakar Sosiologi Hukum UIN Imam Bonjol Padang, Muhammad Taufik mengatakan, hakim MA harus lebih progresif dan komprehensif dalam memutus PK yang diajukan Bupati Pesisir Selatan Rusma Yul Anwar. Dengan kata lain, tidak hanya berpijak pada putusan pengadilan terdahulu semata.

Baca Juga: Alamak! Oknum Kepsek Terdakwa Kasus Pencabulan Divonis Bebas

"Harus dilihat lebih luas dan utuh karena hanya sekedar soal perizinan. Beliau (Rusma) bahkan tidak terbukti melakukan perusakan hutan mangrove seperti yang didakwakan JPU," katanya kepada wartawan, Senin (27/9/2021).

Kasus tersebut berawal dari laporan Hendrajoni (Bupati Pessel periode 2016-2021) ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2018 lalu. Saat itu, Rusma Yul Anwar masih menjabat sebagai wakil bupati.

Dalam laporan bernomor 660/152/DLH-PS/2 itu ada 4 orang yang dilaporkan atas kasus dugaan pengrusakan hutan mangrove di Kawasan Mandeh, Kecamatan Koto XI Tarusan, Pessel. Sayangnya, dari 4 terlapor hanya Rusma sampai diseret ke mejea hijau.

Dalam eksepsinya, penasehat hukum Rusma Yul Anwar menyebut bahwa 3 nama lain yang tidak sampai ke peradilan itu lantaran mereka tidak berpotensi maju menjadi kandidat Bupati Pessel penantang Hendrajoni di Pilkada 2020 lalu.

Saat kasus itu terus bergulir, Rusma berhasil memang telak mengalahkan Hendrajoni di Pilkada 2020. Rusma meraup 128 ribu lebih suara atau 58 persen dari total suara sah.

Baca Juga: Vonis Bebas Pemerkosa Anak di Aceh Dibatalkan, Terdakwa Dihukum 200 Bulan Penjara

"Perjalanan kasus dan kondisi kekinian harus jadi tolok ukur utama hendaknya bagi hakim MA. Jangan sampai keputusan berakibat fatal bagi pembangunan dan stabilitas keamanan daerah," katanya Muhammad Taufik.

Apalagi, kata dosen Fakultas Syariah UIN IB Padang itu, konstitusi negara secara tegas mengatakan kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Hal itu tertuang dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di lain sisi, putusan Pengadilan Kelas 1A Padang terhadap Rusma Yul Anwar tidak membuatnya berhenti permanen, sesuai pasal 83 ayat 1 dan 4 Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Sebab, pelanggaran yang dilakukan tidak termasuk kejatahan luar biasa.

Muhammad Taufik khawatir jika keputusan yang salah bisa memicu konflik horizontal di Pesisir Selatan. Kondisi ini telah terlihat saat meletusnya aksi petisi "Selamatkan Pesisir Selatan" pada Maret 2021 lalu. Belasan ribu masyarakat turun menuntut Kejari Painan untuk tidak mengeksekusi Rusma Yul Anwar. Aksi serupa kembali terjadi pada 8 Juli 2021 ketika Kejari Painan kembali mencoba melaksanakan eksekusi.

"Ini harus jadi perhatian serius. Keputusan hukum di PK nantinya mesti mempertimbangkan dampak lebih luas seperti politik, ekonomi dan sosial," katanya.

Kekosongan Hukum

Load More