Pasaman: Dari Kota Suci ke Zona Rawan Bencana, Apa Kita Sudah Diperingatkan Sejak Lama?

Beberapa hari sebelum banjir dan longsor menerjang Sumatera Barat, sebuah diskusi budaya digelar di Kompleks Candi Tanjung Medan, Pasaman, Sumatera Barat, Minggu (23/11/2025).

Tasmalinda
Senin, 01 Desember 2025 | 13:54 WIB
Pasaman: Dari Kota Suci ke Zona Rawan Bencana, Apa Kita Sudah Diperingatkan Sejak Lama?
Diskusi budaya yang digelar di kawasan Candi Tanjung Medan
Baca 10 detik
  • Diskusi budaya tentang kearifan ekologis masyarakat Pasaman pra-bencana diadakan di Candi Tanjung Medan, 23 November 2025.
  • Para ahli memaparkan bahwa peradaban Pasaman kuno berakar pada pemahaman ekologis mendalam dan keseimbangan alam.
  • Kearifan leluhur tentang penghormatan terhadap alam bertolak belakang dengan kondisi saat ini, memicu kerentanan bencana.

SuaraSumbar.id - Beberapa hari sebelum banjir dan longsor menerjang Sumatera Barat, sebuah diskusi budaya digelar di Kompleks Candi Tanjung Medan, Pasaman, Sumatera Barat, Minggu (23/11/2025).

Forum itu berlangsung hangat, yang dihadiri sejumlah guru sejarah, pegiat budaya, pekerja seni, komunitas dan pegiat lingkungan. Para pembicara mengulas candi, prasasti, serta kearifan ekologis masyarakat masa klasik. Tidak ada yang membayangkan bahwa apa yang dibahas pada hari itu akan terasa seperti peringatan ketika hujan ekstrem datang hanya beberapa hari kemudian.

Air merusak akses jalan, menghanyutkan rumah, serta memaksa ribuan warga mengungsi. Ironi itu sulit diabaikan. Tempat yang dulu dibangun sebagai ruang keharmonisan dengan alam kini menjadi salah satu kawasan yang paling rentan terhadap bencana.

Diskusi budaya menghadirkan tiga narasumber. Peneliti budaya Arbi Tanjung memaparkan bahwa Pasaman sejak dulu bukan sekadar titik geografis, melainkan ruang peradaban yang dibangun berdasarkan pemahaman ekologis yang sangat matang.

Baca Juga:Bencana Sumbar Diduga Dipicu Pembalakan Liar, Gubernur Mahyeldi Desak Evaluasi Tata Kelola Hutan!

Arbi menjelaskan bahwa keberadaan kuburan rajo berukuran besar, menhir, lesung batu raksasa, dan kapak persegi menandakan bahwa manusia telah lama mendiami Pasaman. Mereka menata kehidupan, tempat tinggal, dan kematian dalam hubungan erat dengan alam sekitar. Alam bukan latar kehidupan, melainkan bagian dari struktur sosial dan keyakinan.

Ketika pengaruh Hindu dan Buddha masuk ke wilayah ini, hubungan dengan alam tidak hilang. Justru berpadu. Situs suci dibangun di punggung bukit, lembah, dan hulu sungai. Candi Tanjung Medan serta situs lain seperti Pancahan, Koto Rao, Tanjung Beriang, Kampung Petani, Air Tobing, Gunung Gobah, dan Rambah Langsek Kadok menunjukkan pola yang konsisten.

Bangunan pemujaan menghadap air atau gunung.

Menurut Arbi, bagi masyarakat masa klasik, air dipahami sebagai sumber kehidupan dan penyucian, sementara gunung adalah ruang suci. Kehidupan spiritual hanya dapat berlangsung jika manusia dan alam saling menghormati.

Kearifan tersebut tampak pula pada temuan pripin di Candi Tanjung Medan. Wadah berbentuk kendi itu berisi emas, manik manik dengan pola silang empat arah, biji bijian, dan sisa arang hitam. Emas berbentuk ular melambangkan perlindungan dan kesuburan. Arang hitam mengindikasikan ritual pemulihan.  Semua benda tersebut menunjukkan bahwa masyarakat masa itu memandang lingkungan bukan sebagai sumber daya yang dieksploitasi, tetapi sebagai bagian dari sistem spiritual yang menjaga keberlangsungan hidup.

Baca Juga:Update Korban Bencana Sumbar: 132 Orang Meninggal Dunia, 118 Belum Ditemukan!

Arkeolog Universitas Andalas, Faisal menguatkan dengan menarik perhatian pada penamaan Pasaman.

Menurutnya, nama ini kemungkinan berkaitan dengan istilah Sanskerta prasma atau prasaman yang bermakna ketenangan, persamaan, dan keselarasan. Leluhur Pasaman tampaknya ingin menandai identitas ruang hidup mereka sebagai wilayah yang tenang karena manusia dan alam berada dalam keseimbangan. Dalam pandangan masyarakat masa itu, hubungan baik dengan alam bukan pilihan, melainkan syarat bertahan hidup.

Sejarah Terlupakan

Arbi juga menekankan satu temuan yang kerap terlupakan dalam pembacaan sejarah. Prasasti Ganggu Hilia mencatat bahwa air di wilayah tersebut dapat diminum dan digunakan oleh manusia maupun hewan. Kalimat sederhana itu mencerminkan cara pandang masyarakat masa klasik. Air tidak boleh dikuasai atau diprivatisasi. Air adalah milik semua makhluk.

Taufik Wijaya, pekerja budaya dan jurnalis Mongabay Indonesia, menegaskan bahwa bukti kepurbakalaan dan bentang alam Pasaman sesungguhnya telah cukup untuk membaca jati diri peradaban daerah ini.

Menurutnya, sejarah Pasaman tidak dimulai kemarin atau ketika catatan kolonial muncul, melainkan telah berlangsung sejak setidaknya abad ke-12. Di sepanjang rentang waktu itu, proses akulturasi budaya tidak pernah berhenti, dari era Hindu–Buddha, pengaruh perdagangan antarbangsa, hingga masa modern. Pada masa lalu, Pasaman tercatat sebagai bagian dari jaringan niaga internasional yang menghubungkan berbagai pusat ekonomi di Nusantara dan kawasan luar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini