Apa Bahaya Fanatik terhadap Mazhab? Hindari Taklid Buta

Sikap fanatik berlebihan terhadap suatu pendapat atau kelompok justru dapat menjerumuskan umat pada kesesatan berpikir dan menjauh dari ajaran Islam yang sejati.

Riki Chandra
Selasa, 07 Oktober 2025 | 21:05 WIB
Apa Bahaya Fanatik terhadap Mazhab? Hindari Taklid Buta
Ilustrasi haji. [Dok. Freepik]
Baca 10 detik
  •  Fanatik terhadap mazhab menutup akal dan menyebabkan perpecahan umat.

  • Islam ajarkan berpikir kritis sesuai Al-Qur’an dan Sunnah.

  • Kebenaran agama diukur dari dalil, bukan nama mazhab.

SuaraSumbar.id - Dalam Islam, fanatik terhadap mazhab sering menjadi perdebatan panjang di kalangan umat. Padahal, sikap fanatik berlebihan terhadap suatu pendapat atau kelompok justru dapat menjerumuskan umat pada kesesatan berpikir dan menjauh dari ajaran Islam yang sejati.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata fanatik berarti keyakinan yang teramat kuat terhadap suatu ajaran, agama, atau politik hingga menimbulkan kepicikan berpikir.

Dalam konteks beragama, mengutip ulasan website Muhammadiyah, fanatik terhadap mazhab bisa mendorong seseorang menolak kebenaran hanya karena berbeda pandangan dengan kelompoknya.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk selalu menggunakan akal dalam memahami ajaran agama. Hal ini ditegaskan dalam surah Ali ‘Imran ayat 190–191 yang berbunyi:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal...”

Ayat tersebut menunjukkan bahwa berpikir dan merenung (tafakkur) merupakan ciri orang beriman. Sebaliknya, sikap fanatik terhadap mazhab yang menolak nalar dan ilmu hanya akan melahirkan kebodohan.

Rasulullah SAW pun mengingatkan bahwa ketika ilmu dicabut dari manusia, kebodohan akan berkuasa.

Dalam hadis riwayat Abdullah bin Amr bin Ash, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta-merta dari hamba-hamba-Nya, tetapi mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Apabila tidak ada orang alim, orang-orang mengangkat pemimpin yang bodoh; ketika mereka ditanya, mereka berfatwa tanpa ilmu, lalu sesat dan menyesatkan.” (Muttafaq ‘alaih)

Sementara itu, istilah mazhab dalam Islam berasal dari bahasa Arab dzahaba–yadzhibu–madzhaban yang berarti “menempuh jalan.” Dalam fikih, mazhab berarti pendapat seorang mujtahid yang diikuti karena diyakini kebenarannya.

Namun, menurut sejarawan Munawar Khalil (1956), istilah ini baru populer pada abad keempat Hijriyah, ketika dunia Islam mulai mengalami kemunduran.

Seiring waktu, sebagian pengikut mazhab menjadikan imam mereka seolah maksum dan menolak pendapat lain. Hal ini melahirkan fanatisme mazhab yang berlebihan.

Padahal, seperti dijelaskan oleh ulama besar Muhammad Abu Zahrah (1956), para imam mazhab tidak pernah bermaksud menutup pintu ijtihad bagi generasi setelah mereka.

Islam sendiri tidak pernah memerintahkan umatnya untuk taklid buta terhadap satu mazhab tertentu. Yang dibenarkan adalah ittib‘, yakni mengikuti pendapat ulama selama sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Jika pendapat tersebut bertentangan dengan keduanya, maka wajib ditinggalkan.

Dengan demikian, ukuran kebenaran dalam Islam bukanlah pada nama mazhab atau banyaknya pengikut, melainkan pada kekuatan dalil dan kesesuaiannya dengan petunjuk wahyu. Sikap fanatik terhadap mazhab hanya akan menutup pintu ilmu dan memecah persatuan umat Islam.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini