SuaraSumbar.id - Berjabat tangan dengan non mahram menjadi topik yang kerap memunculkan perdebatan di tengah masyarakat Muslim. Meski berjabat tangan dalam Islam dianggap sebagai simbol ukhuwah dan penghormatan, praktik ini tak lepas dari sorotan para ulama, khususnya ketika melibatkan lawan jenis yang bukan mahram.
Rasulullah SAW pernah bersabda dalam hadis riwayat Ibnu Majah bahwa ketika dua orang Muslim berjabat tangan, maka dosa keduanya akan diampuni sebelum mereka berpisah. Hal ini menunjukkan betapa besar keutamaan berjabat tangan, yang juga dicontohkan oleh para sahabat Nabi, seperti disebut dalam riwayat Anas bin Malik.
Namun, hukum berjabat tangan dengan lawan jenis tak bisa dipandang dari satu sisi. Sebagian ulama menyebut praktik tersebut sebagai tindakan yang dilarang jika melibatkan laki-laki dan perempuan non-mahram.
Pendapat ini diperkuat dengan dalil dari Al-Qur’an (QS. an-Nur: 31) dan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak menyentuh tangan perempuan lain kecuali istrinya.
Hadis dari Aisyah RA menyatakan bahwa dalam proses baiat, Rasulullah hanya menggunakan lisan dan tidak menyentuh tangan perempuan. Bahkan, dalam riwayat dari Ma’qil bin Yasar, Nabi SAW bersabda bahwa lebih baik ditusuk kepalanya dengan besi daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya.
Meski begitu, ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradhawi memiliki pandangan berbeda. Ia menyebut jabat tangan dalam Islam bisa dibolehkan dalam kondisi tertentu, selama tidak ada syahwat dan potensi fitnah.
Dalil yang digunakan berasal dari penafsiran ayat Al-Qur’an (QS. an-Nur: 60) serta sejumlah riwayat lain yang menunjukkan bahwa ada perempuan yang pernah menjabat tangan Rasulullah, kemungkinan besar dengan penghalang atau cara tidak langsung.
Menurut al-Qaradhawi, kata “menyentuh” (al-massu) dalam hadis bersifat multitafsir, bisa bermakna hubungan seksual atau makna lain tergantung konteks. Oleh karena itu, berjabat tangan dengan non-mahram dalam Islam bukanlah perkara haram secara mutlak, tetapi sangat bergantung pada niat, situasi, dan batasan syariat yang dijaga.
Dalam fiqih, dikenal kaidah penting: “Menolak kerusakan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.” Maka, jika potensi fitnah bisa dihindari dan dilakukan tanpa syahwat, sebagian ulama memperbolehkan jabat tangan dalam batas-batas tertentu.
Umat Islam diimbau untuk tetap menjaga adab pergaulan dalam Islam, sekaligus memahami perbedaan pandangan ulama agar tidak mudah menyalahkan satu sama lain. Prinsip kehati-hatian dan kesantunan tetap menjadi kunci dalam menjalankan interaksi sosial, termasuk soal hukum jabat tangan dalam Islam.