SuaraSumbar.id - Tak seorang pun mampu menerka jalan hidup. Sebab, takdir setiap insan berbeda-beda. Mimpi seringkali buyar, bahkan seketika hancur oleh kejadian yang tak diduga-duga.
Seperti kisah Silvia, seorang perempuan yang sudah 21 tahun hidup di atas kursi roda. Hatinya pernah benar-benar hancur. Hampir setiap saat selama lebih 5 tahun, hari-harinya berurai air mata. Mengumpati kenyataan pahit usai kecelakaan tragis merenggut fungsi kedua kakinya.
Sabtu sore (18/11/2022), Suara.com menyambangi kediaman Silvia di Jalan Bali, Blok J Nomor 1 Wisma Indah I, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, Sumatera Barat. Di kaca rumah berpagar warna-warni itu, terpampang spanduk "Merajut dengan Cinta. Silvia Piobang Handycraft".
Sembari menjawab salam, Silvia datang di depan pintu. Lalu, dia letakkan tas warna coklat tua bermotif bunga di atas batu di halaman rumah yang berjarak sekitar 2 meter dari pintu masuk. Beberapa kali difotonya tas itu dengan kamera handphone.
Baca Juga:Realisasi PAD Agam Capai Rp 126,65 Miliar
"Sebentar. Saya foto dulu tas baru selesai dirajut ini, buat dipromosikan di media sosial," kata perempuan yang dikenal dengan Silvia Piobang itu.
Silvia menyulap bagian depan rumah yang biasanya ruangan tamu, menjadi tempat pajangan karya hasil rajutannya. Sepatu, sandal, mainan kunci, topi dan aksesoris hasil rajutan, tampak tersusun rapi di etalase. Beragam jenis dan motif tas dipajang di depan lemari yang penuh dengan benang dan bahan dasar merajut.
"Ini rumah family ibu. Kami menetap di sini sejak 2015 lalu dan berjualan hasil rajutan juga dari sini," katanya.
Dulu, perempuan 42 tahun itu hidup normal seperti orang biasanya. Kakinya bisa melangkah kemana pun dia mau. Kini, untuk ke kamar mandi saja, Silvia butuh bantuan Amak (ibu) yang setia setiap saat menemani hidup anak semata wayangnya itu.
"Saya hanya hidup berdua dengan Amak. Sejak usia saya 3 tahun, ibu bercerai dengan ayah," kenangnya.
Baca Juga:Tekan Inflasi, Pemkab Agam Gelar Pasar Murah, 6.400 Paket Disediakan
Jalan hidup Silvia berubah total sejak kecelakaan mobil menimpanya pada Mei 2001 silam. Saat itu, dia bersama ibunya dan sejumlah keluarga, dalam perjalanan dari kampungnya di Payakumbuh menuju Kota Padang. Nahas, mobil yang ditumpanginya pecah ban dan mengalami kecelakaan tunggal di daerah Kota Bukittinggi.
"Saya tidur di bagian tengah. Pas kecelakaan pinggang terjepit dan kaki tak bisa digerakan. Kejadiannya subuh," katanya.
Silvia dilarikan ke Rumah Sakit Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. Keesokannya harinya, dirujuk ke RSUP M Djamil Padang. Tiga hari setelah dirawat di Padang, dokter memvonisnya lumpuh total. Seketika itu, dia benar-benar syok. Air matanya berlinang tak terbendung. Tetapi, apa hendak dikata. Kakinya betul-betul tak bisa digerakkan. Bahkan, untuk duduk pun dia tak mampu.
Dokter menyarankannya untuk operasi, namun ditolaknya. Sebab, operasi yang dimaksud hanya untuk bisa duduk karena Silvia saat itu hanya dapat berbaring. Tidak ada jaminan kakinya bisa berjalan. "Saraf gerak tak berfungsi. Awal-awal dulu, saya nggak bisa duduk seperti ini. Bayangkan pedihnya," kenang Silvia.
Berdamai dengan Kenyataan
Tidak mudah bagi Silvia melewati hari-hari baru di rumah sakit dengan kondisi yang memilukan. Hanya bisa berbaring dengan kaki mati rasa. Kala itu, dia merasa Tuhan benar-benar tak adil. Betul-betul putus asa.
"Stres dan frustasi. Setiap hari nangis. Itu lima tahun lebih lamanya saya lewati. Tidak percaya dengan kenyataan hidup," katanya.
Lulusan SMK 3 Padang itu belum menerima kenyataan pahit yang diterimanya. Emosinya sangat tidak stabil. Mudah tersinggung hingga marah-marah kepada siapa pun, termasuk kepada Amak yang setia merawatnya. Puncaknya, Silvia ingin mati dan bunuh diri.
"Wajarlah (ingin bunuh diri). Biasanya bisa kerja, jalan kemana-mana. Tiba-tiba sekarang di kasur saja. Semuanya dibantu Amak," katanya.
Sang ibu terus berupaya membawanya berobat ke berbagai daerah hingga ke Pekanbaru. Rata-rata pengobatan alternatif. Akhirnya, Silvia bisa duduk tanpa operasi. Malangnya, ada luka tekan di bagian tulang pinggul yang mengharuskannya kembali berobat medis. "Awalnya tidak berdaya. Berobat kemana-mana dan akhirnya bisa duduk. Kaki saja yang tak bisa berjalan," katanya.
Saat menderita luka tekan di bagian pinggul, Silvia kembali bolak-balik ke rumah sakit. Dia harus kontrol rutin 2 kali seminggu ke RSUP M Djamil Padang. Silvia menjalani 4 kali operasi decubitus dibagian pantat sebelah kiri yang dimulai tahun 2005, kemudian 2015 dan 2017.
"Sekarang sudah mulai sembuh. Saya baru stop kontrol ke rumah sakit sejak 2017," katanya lulusan SMK jurusan Akuntasi itu.
Saat kecelakaan, Silvia berstatus karyawan di salah satu perusahaan swasta di Kota Padang. Dia tidak langsung berhenti setelah peristiwa nahas itu. Teman-temannya berusaha menutupi kondisinya, sehingga Silvia tetap menerima gaji hingga Desember 2001.
"Semuanya pekerjaan saya dibantu teman. Berhentinya karena tim audit dari Jakarta datang dan akhirnya mengetahui kondisi saya," katanya.
Silvia berangsur ikhlas dan berdamai dengan kenyataan berkat kesabaran sosok perempuan bernama Suryati, ibu yang merawatnya sejak kecil seorang diri. Memberinya kekuataan dalam situasi sepahit apa pun. Tidak pernah mengeluh dan terus menyemangati.
"Dukungan ibu yang membuat saya kuat hingga bangkit. Awal lumpuh dulu, ada juga kata-kata yang menyebut saya tidak berguna lagi. Tapi, ibu selalu menguatkan. Kasih sayangnya tak putus-putus," tuturnya sembari diamini sang ibu yang duduk disebelah Silvia.
Ibunda Silvia mengatakan, orang tua tidak boleh malu memiliki seorang anak disabilitas. Apakah itu cacat dari lahir atau terjadi karena peristiwa lain, seperti yang dialami putri semata wayangnya, Silvia.
"Kuncinya sabar. Tidak ada jalan lain selain berserah diri kepada Allah SWT. Berikan semangat hidup untuk anak kita," tutur perempuan 65 tahun itu.
Bangun Usaha Silvia Piobang Handycraft
Silvia sebetulnya sudah mulai belajar merajut sejak 2005 dari saudaranya. Tahun 2013, dia mengikuti kelas merajut offline berbayar. Namun, baru fokus usaha merajut sejak 2015 atau saat kembali menetap di Ulak Karang, Kota Padang. "Awal-awalnya dulu sekadar mengisi waktu luang. Tidak kepikiran untuk seperti saat ini," katanya.
Semangatnya merajut muncul dari rumah sakit. Suatu kali, Silvia melihat sejumlah perawat merajut sambil mengobrol di jam istirahat. "Waktu ada kaki, disuruh belajar rajut ini mungkin tak betah. Tapi saat tidak bisa berjalan, mau ngapain lagi. Ternyata bisa dan akhirnya kecanduan," katanya.
Silvia pun menekuni dunia merajut. Dia bergabung dengan sejumlah komunitas merajut di Kota Padang. Belajar lewat online melalui grup-grup Facebook hingga mengikuti kegiatan UMKM di kelurahan. Ide-idenya membuat produk rajutan makin berkembang.
"Awal-awal dulu, saya bikin sarung handphone, sarung galon hingga kotak tisu. Harganya mulai dari Rp 5 ribu," katanya.
Hasil rajutan Silvia dipromosikan ibunya saat pergi ke pengajian. Secara berangsur, banyak yang memesan hingga Silvia merasakan berkah hasil berjualan karya rajutannya sendiri.
Akhirnya berdiri "Silvia Piobang Handycraft". Merek usahanya diambil dari namanya sendiri dengan nama kampung halamannya; Nagari Piobang yang berada di Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Merek dagang Silvia juga telah dipatenkan dan terdaftar sebagai Hak kekayaan intelektual (HKI) di Kemenkumham RI sejak 2020 lalu.
Silvia Piobang Handycraft menyediakan ragam produk rajutan. Mulai dari tas, sepatu, sendal, peci dan aksesoris lainnya. Semua produksi itu merupakan hasil jahitan tangan Silvia. "Tiap hari. Kadang di kamar, kadang di luar. Pokoknya produksi jalan terus," katanya.
Merajut kini tak sebatas hobi, tetapi menjadi tumpuan utama kehidupan Silvia dan ibunya. Harga produksi rajutannya tergantung ukuran dan tingkat kesulitan. Tas yang paling murah dijual Rp 90 ribu. Ada juga yang harganya ratusan ribu, apalagi sepatu dan sandal.
"Ini pemasukan utama saya satu-satunya. Ibu tidak bekerja lagi," katanya.
Usaha rajutan Silvia mulai kembali menggeliat sejak 5 bulan terakhir. Sejak September 2021, dia tidak memproduksi lantaran permintaan pembeli tidak ada.
"Tahun pertengahan pandemi Covid-19 itu benar-benar tidak ada penjualan. Produksi pun saya hentikan. Alhamdulillah sekarang pelanggan lama sudah belanja lagi. Paling tidak, omzet sekitar Rp 3 juta sebulan. Cukuplah buat hidup saya dan ibu," tuturnya.
Awal pandemi Covid-19 melanda, usaha rajutannya sempat beromzet hingga Rp 8 juta sebulan. Kebetulan saat itu orang-orang, terutama perempuan butuh strap masker dengan jumlah yang banyak. "Alhamdulillah. Kehidupan saya dan ibu berlanjut berkat hasil rajutan," katanya.
Berbagi Ilmu dan Memotivasi
Selain merintis usaha, Silvia juga aktif berbagi ilmu merajut gratis kepada teman-temannya sesama penyandang disabilitas. Dia juga menyalurkan donasi dari berbagai pihak kepada rekan-rekannya yang kesulitan ekonomi di masa pandemi Covid-19.
Gagasan Silvia berbagi ilmu menjahit kepada penyandang disabilitas muncul saat badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) melanda di tengah pandemi Covid-19. "Banyak kawan-kawan yang jadi karyawan kedai kena PHK. Lahirlah ide saya untuk mengajak mereka belajar merajut. Saat saya tawarkan, ternyata banyak yang berminat," kata Silvia yang juga salah seorang Pengurus Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI Sumbar) dan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI Padang) itu.
Para penyandang disabilitas yang berminat diminta datang ke rumah. Orang tua anak-anak berkebutuhan khusus itu pun juga diperbolehkan belajar merajut. "Saya kasih benang dan bahan. Semuanya gratis. Kebetulan saya juga dapat bantuan pemerintah, jadi stoknya lumayan banyak," kata atlet atletik yang berlaga di ajang Peparnas 2021 lalu di Papua.
Silvia mengaku memberikan semua ilmu merajutnya kepada para disabilitas yang mau belajar. Baginya, tidak ada yang perlu disembunyikan dalam hal merajut. "Kalau pun bahannya sama, motifnya sama, hasil rajutannya pasti akan berbeda. Tidak perlu khawatir dan malas berbagi ilmu," katanya.
Uniknya, kata Silvia, ibu dari anak-anak disabilitas yang kini banyak pandai merajut. Mereka juga telah memasarkan berbagai hasil rajutannya. Sayangnya, saat pembeli sepi, ada yang malas memproduksi lagi. "Kalau saya harus produksi terus karena hasilnya buat hidup," tuturnya semberi tersenyum.
Selama melatih merajut, Silvia terus memotivasi rekan-rekannya untuk bangkit dan tidak putus asa. Menurutnya, keterbatasan fisik bukanlah hambatan untuk berkarya. Banyak hal yang bisa dilakukan kaum disabilitas dan bisa menyamai orang-orang normal.
Kini, Silvia dikenal sebagai salah satu sosok penyandang disabilitas yang terampil dan juga seorang motivator. Dia telah memberikan pelatihan merajut ke berbagai Sekolah Luar Biasa (SLB) hingga panti asuhan. Dia juga kerap diundang sebagai pembicara kegiatan wirausaha ibu-ibu di berbagai daerah.
Beragam penghargaan telah diraih Silvia atas sumbangsihnya terhadap kaum disabilitas. Tahun 2020, Silvia meraih penghargaan pin emas dari Wali Kota Padang dalam kategori tokoh masyarakat yang berperan aktif dalam bidang sosial.
Peran aktifnya dalam berbagai kegiatan sosial menuai pujian Abraham Ismet, rekan Silvia sesama penyandang disabilitas. "Kak Isil memotivasi banyak orang. Hidup berdua dengan ibu dan jadi tulang punggung keluarga. Kami banyak belajar dari semangatnya," katanya.
Ketua Umum National Paralympic Committe (NPC) Kota Padang itu mengaku salut dengan Silvia. Sebab, selain aktif berusaha, berbagi ilmu dengan rekan-rekan penyandang disabilitas, Silvia juga menekuni olahraga cabang atletik yang telah mengharumkan nama daerah di ajang Peparnas.
"Sikap pantang menyerah dan semangatnya harus dicontoh bagi semua orang, tidak saja penyandang disabilitas," kata pria yang akrab disapa Boboy itu.
Peran Keluarga dan Dukungan Pemerintah
Peran orang tua dan keluarga dekat sangat dibutuhkan untuk membangun kepercayaan diri hingga meningkatkan kreativitas anak-anak penyandang disabilitas. Seperti kisah Silvia yang bangkit dari jurang keterpurukan berkat kesabaran sang ibu.
"Jangan ada stigma anak disabilitas tidak mampu berbuat apa-apa. Banyak yang mereka bisa. Perhatian orang tua dan keluarga sangat menentukan," kata Pekerja Sosial Ahli Muda Bidang Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Dinas Sosial Kota Padang, Mona Irawati Nasti, Selasa (22/11/2022).
Mona mengatakan, jumlah penyandang disabilitas yang terdata di Kota Padang mencapai 3.374 orang. Sekitar 40 persen di antaranya, termasuk aktif dalam banyak hal. Ada yang menonjol di wirausaha, atlet dan berprestasi di sekolah.
"Yang tidak aktif itu kemungkinan minim informasi atau kami dari pemerintah yang belum sempat menjangkau. Sebab, mayoritas penyandang disabilitas ini masih berstatus pelajar," katanya.
Dari pendataan Dinas Sosial Kota Padang, masih ada sekitar 10 persen angka penelantaran terhadap penyandang disabilitas. Mereka dibiarkan keluarganya tak sekolah.
"Mungkin mereka dianggap tidak berguna hingga tidak diperhatikan. Padahal, jangankan penyandang disabilitas, anak-anak normal saja perlu perhatian penuh dari keluarga untuk lebih bersemangat dan kreatif," katanya.
Pemerintah Kota Padang, kata Mona, berupaya mendukung kreativitas penyandang disabilitas. Tidak saja pelatihan-pelatihan wirausaha, Dinsos Padang juga memberikan beragam bantuan untuk menunjang usaha penyandang disabilitas.
Silvia Piobang misalnya, kata Mona, mendapat perhatian Pemko Padang karena sosoknya yang tangguh dan energik. Di tengah keterbatasannya, Silvia bisa berbagi ilmu dan rezkinya untuk rekan-rekan penyandang disabilitas. Dia juga aktif di Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia Padang. Dia juga atlet yang mengharumkan nama daerah di tingkat nasional.
Atas dedikasinya itu, Silvia meraih anugerah dari Wali Kota Padang sebagai masyarakat yang aktif bergerak di bidang sosial. "Silvia kini tak hanya memotivasi banyak penyandang disabilitas, tapi juga orang normal. Dia melatih pelaku UMKM untuk merajut hingga membantu masyarakat saat pandemi. Bagi kami, Silvia ikon disabilitas," katanya.
Senada dengan itu, Kepala Dinas Sosial Kota Padang, Ances Kurniawan mengatakan, masih ada orang tua dan keluarga penyandang disabilitas yang menganggap anak-anak mereka tak berguna. Padahal, mereka anak pilihan yang diberi sedikit kelemahan oleh sang pencipta. Mungkin itu tuna rungu, tuna wicara, tuna netra, lumpuh dan lain sebagainya.
"Banyak mereka yang berpotensi, tapi semuanya bisa terlihat jika orang tua memberikan perhatian serius. Kenapa beranggapan mereka tak berguna? Toh mereka tidak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini," katanya saat dihubungi Jumat (25/11/2022).
Di Pemko Padang sendiri, terdapat sekitar 16 orang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berstatus penyandang disabilitas. Mereka juga berprestasi, bahkan meraih gelar doktor di Luar Negeri. "Banyak lagi penyandang disabilitas yang membanggakan. Jadi, mari peduli nasib mereka. Jangan abai," katanya.
Menurut Ances, perlu kolobarasi semua pihak dalam mendukung dan meningkatkan semangat para penyandang disabilitas. Paling utama tentu saja dari orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah.
"Kami selalu berupaya memberikan dukungan. Rutin menggelar pelatihan sesuai minat penyandang disabilitas. Tapi tentu tidak cukup dan maksimal jika tidak didukung oleh keluarga dan masyarakat," katanya.
Pemko Padang juga berupaya melengkapi berbagai harapan kaum disabilitas. Hal itu tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Padang Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Terbaru, kawasan Permindo di Pasar Raya Padang telah ditetapkan sebagai kawasan ramah disabilitas.
Ances mengatakan, Perda tersebut bagian dari penghormatan pemerintah daerah terhadap kaum penyandang disabilitas. Ke depannya, Pemko Padang akan memaksimalkan lagi perhatian kepada disabilitas, termasuk melengkapi sarana dan prasarana untuk mereka.
Sementara itu, Gubernur Sumbar Mahyeldi menegaskan bahwa Pemprov Sumbar berkomitmen menghadirkan kesetaraan kepada seluruh masyarakat yang dipimpinnya, termasuk untuk memfasilitasi penyandang disabilitas. Dia juga meminta bupati dan wali kota untuk menyiapkan fasilitas dan sarana ramah disabilitas.
"Akan banyak potensi yang bisa dihadirkan dari para penyandang disabilitas. Pikiran dan masukan dari penyandang disabilitas harus diakomodir," kata Mahyeldi di sela-sela Musrenbang Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Sumbar Tahun 2023 pada Senin (23/2/2022) lalu.
Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 mengungkapkan bahwa sekitar 17 juta penyandang disabilitas di Indonesia termasuk kategori usia produktif. Dari jumlah tersebut, hanya 7,6 juta orang yang bekerja.
Dalam sebuah pemberitaan, Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan, penyandang disabilitas harus mendapat perhatian oleh pemerintah di semua tingkatan. Sebab, mereka juga mampu berkarya hingga mengharumkan nama Bangsa. Selain itu, pemenuhan hak-hak terhadap disabilitas harus diwujudkan oleh pemerintah.
Pemerintah juga mengimbau masyarakat untuk mendukung pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dari kalangan disabilitas dengan cara membeli produk mereka. Sebab, tak ada arti dukungan dan bantuan pemerintah jika hasil produksinya tidak laris di pasaran.