SuaraSumbar.id - Tirta Mandira Hudhi atau yang akrab dikenal sebagai Dokter Tirta bicara soal tato di tubuhnya. Dia mengaku sudah berniat untuk menghapus tato di tubuhnya, mengingat statusnya yang sudah memeluk agama Islam.
Namun, proses penghapusan tato justru membuat munculnya keloid di kulitnya. Setelah berkonsultasi ke dokter, penghapusan tato ternyata berisiko membuat kulit Dokter Tirta mengalami luka bakar.
“Sebenernya sudah coba sekali dihapus di Bogor… Jadi ternyata setelah dicoba dihilangin, malah timbul beberapa kayak keloid. Artinya gak aman. Gue konsultasi ke dokter kulit, ini harus dilaser dan bisa menyebabkan luka bakar yang parah,” ujarnya, dikutip dari Hops.id - jaringan Suara.com, Rabu, (8/12/2021).
Alhasil, ia pun berkonsultasi kepada kyai. Menurut Kyai yang bersangkutan, dalam kasus Dokter Tirta, tidak apa-apa jika tatonya tak dihapus. Yang terpenting adalah sudah tak ada keinginan lagi untuk membuat tato baru.
Baca Juga:Erupsi Gunung Semeru, Penerbangan Dokter Tirta dari Jambi ke Jakarta Terganggu
“Gue konsultasi ke kyai dong karena ini terlalu menyakitkan diri sendiri. Dan gue kan mualaf dalam keadaan udah bertato, yaudah gak papa. Yang penting niatnya udah berubah, niatnya udah gak bertato lagi. Jadi, tidak menambah.”
Punya tato dengan mata satu di punggung, Dokter Tirta kerap dituding memiliki tato dajjal. Ia pun membantah hal tersebut.
“(Tato) punggung ini banyak menyalahartikan ini dajjal. Ini adalah logo dokter, logo apotek. Ular dengan cawan itu apotek… Nah, mata satu ini bukan dajjal. Mata satu itu ada filosofinya, yang paling bisa menusuk kita itu adalah teman terdekat yang ada di belakang kita,” pungkasnya.
Dokter Tirta pernah menjelaskan latar belakang keluarganya yang berbeda agama. Ia mengaku terlahir dari ayah muslim dan Ibu Nasrani.
“Aku lahir dalam kondisi yang jujur enggak enak ya. Bapakku adalah seorang petani, dia Jawa dan Muslim. Ibuku keturunan China, dia lulusan pertanian karena enggak ada duit, dia jadi karyawan Non Muslim. Mereka nikah melahirkan aku anak tunggal,” ucap Tirta.
Baca Juga:Sheila Marcia Ungkap Alasan Kecanduan Tato, Berawal dari Ikut-ikutan
Kematian tragis sang Ibu yang memilih untuk lompat dari lantai 24 membuat Tirta sempat memilih menjadi atheis. Meninggalnya Ibunda Dokter Tirta sendiri terjadi pada 1998 saat terjadi tragedi di Solo.
“Yang dari situ aku ngerasain tragedi 98 di Solo, pada waktu itu nyokap loncat dari lantai 24, pilihannya cuma dua mati dibakar atau loncat, nyokap pilih loncat. Dari situ aku tahu tentang rasialisme, sara, agama, dan aku memutuskan untuk atheis dari SD, SMP, SMA,” katanya.
Saat kuliah, Tirta pun semakin terbuka dengan berbagai agama yang ada. Ia akhirnya memutuskan untuk menjadi mualaf di usia 23 tahun.
“Cuman ketika aku masuk UGM, aku ketemu dengan berbagai macam orang karakter, kalau kita di kampus itu banyak kawan dari suku mana, suku mana. Dari situ aku terbuka dan aku memutuskan untuk mualaf di usia 23 tahun dan ya sudah, aku bisa menghargai agama lain. Jadi sekarang kalau ada orang beribadah atau apa, aku tidak langsung close minded ya, dari situ aku respek,” pungkas dokter Tirta.