Riki Chandra
Kamis, 23 Oktober 2025 | 16:02 WIB
Penasehat hukum PT BRN, Defika Yufiandra membantah tudingan perilaku ilegal logging. [Suara.com/B Rahmat]
Baca 10 detik
  • PT BRN bantah tuduhan illegal logging dan tegaskan legalitas lahan.
  • Kegiatan BRN berada di Areal Penggunaan Lain bukan hutan.
  • Penghentian operasi dinilai rugikan masyarakat adat Kaum Taileleu.

SuaraSumbar.id - PT Berkah Rimba Nusantara (BRN) mengklarifikasi dan membantah atas pemberitaan yang mengasosiasikan kegiatannya sebagai praktik illegal logging di wilayah Hutan Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar).

Menurut Penasehat Hukum PT BRN, Defika Yufiandra, kegiatan yang dilakukan BRN berlandaskan pada alas hak yang sah dan telah melalui berbagai proses administratif serta teknis yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kegiatan BRN berlangsung di Areal Penggunaan Lain (APL) milik Martinus, yang memiliki kuasa pengelolaan lahan adat seluas sekitar 900 hektare di Dusun Taraet Borsa dan Majawak, Desa Betumonga, Kecamatan Sipora Utara.

Kuasa tersebut diperkuat dengan Surat Keterangan Pemerintah Desa dan klarifikasi dari Kantor Pertanahan (BPN) Mentawai yang menyatakan alas hak sudah memenuhi ketentuan pendaftaran tanah sesuai PP Nomor 24 Tahun 1997.

Dinas Kehutanan Sumatera Barat melalui UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Mentawai juga mengkonfirmasi bahwa sekitar 736 hektar lahan tersebut berada di luar kawasan hutan dan termasuk dalam Areal Penggunaan Lain (APL), bukan bagian dari Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB).

"Kemudian surat persetujuan dari Bupati Kepulauan Mentawai semakin memperkuat legalitas pemanfaatan lahan tersebut," ujarnya, Kamis (23/10/2025).

Lebih jauh, Defika menjelaskan bahwa mekanisme pengelolaan hasil hutan menggunakan Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH), sebuah sistem digital yang disediakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pencatatan dan pengawasan hasil hutan secara legal.

Hak akses SIPUHH yang digunakan BRN bukan merupakan izin usaha kehutanan, melainkan hak administratif yang diperoleh setelah pemegang hak atas tanah memenuhi kewajiban pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi (PSDH–DR).

Menurut Defika, kesalahan penerapan hukum terjadi ketika hak akses SIPUHH disalahartikan sebagai izin kehutanan sehingga kegiatan di APL secara keliru dianggap sebagai tindak pidana kehutanan.

“Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan hanya berlaku dalam kawasan hutan negara. Jika lokasi kegiatan berada di APL, maka pasal tersebut tidak dapat diterapkan karena unsur “di dalam hutan” tidak terpenuhi,” tegasnya.

PT BRN dan Martinus telah menandatangani perjanjian kerja sama sejak 7 Mei 2024 untuk melakukan pemanfaatan kayu dengan metode tebang pilih di lahan tersebut.

Kegiatan berjalan normal hingga Oktober 2025, saat Satgas Pengamanan Kawasan Hutan (PKH) menghentikan operasi dan memasang plang penghentian, yang berdampak langsung pada aktivitas perusahaan.

Penegakan hukum terhadap BRN yang dimulai pada Oktober 2025 berupa penyitaan alat berat dan kayu di lokasi dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri, serta pembatasan kebebasan pekerja yang berlangsung sekitar sepuluh hari.

"Kami menilai tindakan ini menyalahi prosedur hukum dan merugikan hak ekonomi masyarakat adat Kaum Taileleu, mitra BRN dalam pengelolaan lahan adat tersebut," tuturnya.

Lebih lanjut, Defika menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap IM (Ichsan Marsal) dilakukan secara terburu-buru hanya setelah satu kali pemeriksaan, tanpa memperhatikan proses administratif yang sedang berjalan.

Load More