- Kentang jembut adalah umbi kecil berserabut yang kini resmi masuk KBBI.
- Penamaan kentang jembut merupakan metafora ciri fisik.
- Istilah kentang jembut viral di media sosial hingga memicu penasaran dan perdebatan publik.
SuaraSumbar.id - Belakangan ini, publik heboh setelah melihat klaim bahwa istilah kentang jembut sudah resmi masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Berdasarkan laporan-laporan media dan penelitian, kentang jembut (Coleus tuberosus atau dalam beberapa sumber disebut Coleus rotundifolius) adalah umbi lokal dari famili Lamiaceae yang memiliki beberapa karakter khas:
Ukuran lebih kecil dibanding kentang biasa, dengan daging berwarna lebih gelap atau hitam serta kulit yang berserabut halus.
Umbi ini sudah lama dikenal masyarakat sebagai pangan tradisional; meskipun demikian pemanfaatannya selama ini masih terbatas.
Kandungan nutrisinya dinilai menjanjikan: selain sebagai sumber karbohidrat, terdapat juga protein, serat, serta vitamin dan mineral.
Masuk KBBI
Klaim tersebut menyebutkan bahwa kentang jembut adalah istilah untuk menyebut umbi lokal kecil dan berserabut, secara ilmiah dikenal sebagai Coleus tuberosus.
Reaksi netizen pun bermacam-macam, mulai dari penasaran hingga meragukan keaslian penambahan kata ini.
Sebuah akun di X menyebut bahwa KBBI menambahkan kentang jembut sebagai istilah untuk umbi-umbian berukuran kecil dan berserabut.
Melihat laman resmi KBBI Kemendikbud VI daring, istilah ini memang tercantum dengan penjelasan bahwa kentang jembut merujuk pada umbi seperti kentang. Namun, jika dilihat melalui aplikasi, definisi lengkapnya belum muncul.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Linguistik Universitas Gadjah Mada (UGM), I Dewa Putu Wijana, menyebut bahwa penyebutan kentang jembut adalah bentuk metafora, diambil dari ciri fisiknya yang dianggap menyerupai bagian tubuh intim.
Menurutnya, penamaan itu berdasarkan bentuk atau ciri-ciri fisik kentang yang seperti kemaluan.
Lantas, kenapa masuk KBBI?
Sebuah kata atau ekspresi bisa dimasukkan jika sudah digunakan oleh masyarakat secara lisan atau tulisan minimal tiga sampai lima kali.
Meski demikian, pakar itu mengaku tidak mengetahui secara pasti bagaimana mekanisme itu di era digital saat ini.
Berita Terkait
-
Viral Momen Mbak Rara Kendalikan Cuaca di Pemakaman Raja Pakubuwono XIII
-
Politisi PSI Yakin Gibran Adalah 'Jokowi 2.0', Tak Diasingkan di Papua
-
Viral Selebgram Makassar Panik Mobilnya Digembok karena Parkir Sembarangan, Endingnya Bikin Adem
-
Viral! Pasangan Pembuangan Bayi di Ciamis Dinikahkan di Kantor Polisi: Biar Bisa Rawat Anak Bersama?
-
5 Fakta Misteri Hilangnya Bilqis, Diduga Diculik saat Sang Ayah Bermain Tenis
Terpopuler
- Sunscreen untuk Usia 50-an Sebaiknya SPF Berapa? Cek 5 Rekomendasi yang Layak Dicoba
- Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
- 5 Sunscreen Terbaik Harga di Bawah Rp30 Ribu agar Wajah Cerah Terlindungi
- 7 Mobil Sedan Bekas Mulai 15 Jutaan, Performa Legenda untuk Harian
- 24 Kode Redeem FC Mobile 4 November: Segera Klaim Hadiah Parallel Pitches, Gems, dan Emote Eksklusif
Pilihan
-
Comeback Dramatis! Persib Bandung Jungkalkan Selangor FC di Malaysia
-
Bisnis Pizza Hut di Ujung Tanduk, Pemilik 'Pusing' Berat Sampai Berniat Melego Saham!
-
Bos Pajak Cium Manipulasi Ekspor Sawit Senilai Rp45,9 Triliun
-
6 Kasus Sengketa Tanah Paling Menyita Perhatian di Makassar Sepanjang 2025
-
6 HP Memori 128 GB Paling Murah Terbaru 2025 yang Cocok untuk Segala Kebutuhan
Terkini
-
CEK FAKTA: Raja Yordania Ingatkan Prabowo Tak Kirim Pasukan ke Palestina, Benarkah?
-
Tere Liye "Labrak" Pemuja Gubernur Riau Abdul Wahid Kena OTT KPK: Berhentilah Jilati Pejabat, Tolol!
-
7 Desain Rumah 6x10 Paling Populer, Bikin Hunian Mungil Terlihat Mewah!
-
Benarkah Zakir Naik Sekarat hingga Positif HIV/AIDS? Ini Faktanya
-
Menteri PPPA Jamin Keadilan Siswi SMA Pesisir Selatan yang Melahirkan di Sekolah: Ini Melanggar HAM!