Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Senin, 28 April 2025 | 21:00 WIB
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, saat diwawancarai awak media di Kota Padang, Senin (28/4/2025). [Suara.com/B Rahmat]

SuaraSumbar.id - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menerangakan bahwa ratusan tanah ulayat di Sumatera Barat (Sumbar), belum bersertifikat.

Pernyataan itu disampaikan Nusron Wahid saat menyerahkan 11 sertifikat tanah ulayat dan tanah wakaf di Kota Padang, Sumbar, Senin (28/4/2025).

Sertifikat tanah ulayat yang diserahkan itu di antaranya satu sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) tanah ulayat seluas 21.933 meter persegi untuk Kerapatan Adat Nagari V Koto Air Pampan/Niniak Mamak Koto Pauh Kota Pariaman. Kemudian, 5 sertifikat hak pakai di atas HPL untuk perorangan.

Sebelum penyerahan 11 sertifikat tersebut, sertifikat sebanyak 10 bidang dari 426 bidang tanah ulayat di Sumatera Barat juga telah diserahkan pada tahun 2024 lalu.

Masing-masing dari 10 bidang tanah ulayat yang telah disertifikatkan adalah Hak Pengelolaan (HPL) atas nama Kerapatan Adat Nagari dengan total lahan seluas ± 245 hektare. Tiga HPL di Nagari Sungai Sungayang dan Nagari Tanjung Bonai Kabupaten Tanah Datar, 2 di Nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang, dan 1 di Nagari Sungai Kumayang Kabupaten Limapuluh Kota, serta 1 di Nagari V Koto Air Pampan Kota Pariaman.

"Kita mendorong agar proses sertifikasi tanah ulayat di Sumbar bisa dipercepat," kata politikus Golkar itu.

Menurut Nusron, sejumlah masyarakat adat masih khawatir terkait pendaftaran tanah ulayat tersebut. Padahal, sertifikasi tanah ulayat itu justru memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat.

"Kalau sudah disertifikatkan, tanah sulit diperjualbelikan, sulit diserobot, karena batas, nomor induk bidang, luas wilayah, hingga kelembagaan adatnya tercatat jelas," ujarnya.

Dia mengatakan, setelah tanah ulayat disertifikatkan, penggunaannya tidak bisa sembarangan. Setiap pemanfaatan harus mendapat persetujuan dari lembaga adat.

“Mekanisme internalnya pun tergantung kesepakatan di lembaga adat, apakah cukup tanda tangan ketua atau seluruh anggota,” kata Nusron.

Pendataan dan pendaftaran tanah ulayat, kata Nusron, akan semakin memperkokoh hak-hak masyarakat adat. Dengan sertifikasi, potensi klaim sepihak atau penyerobotan oleh pihak lain dapat diminimalisasi.

"Capaian pendaftaran saat ini masih jauh dari target. Kami menargetkan seluruh bidang tersebut dapat didaftarkan," tuturnya.

Mengenai kewajiban pajak atas tanah ulayat yang telah didaftarkan, Nusron menekankan bahwa hal itu menjadi kewenangan masing-masing kepala daerah.

"Tugas kami adalah melindungi tanah adat dari upaya penyerobotan dan pengambilalihan, terutama oleh investor yang hanya mementingkan kepentingan pribadi," jelasnya.

Kemudian dalam rangka mempercepat pendaftaran, Kementerian ATR/BPN terus melakukan edukasi dan pendekatan sosial ke nagari-nagari di Sumatera Barat.

"Kami keliling langsung ke 19 kabupaten dan kota untuk mensosialisasikan pentingnya pendaftaran tanah ulayat ini," ungkapnya.

Menurut Nusron, tingkat pemahaman di kalangan lembaga adat masih cukup minim, sehingga pihaknya menggandeng berbagai organisasi adat, seperti Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM).

Ia menceritakan pengalaman di Riau, di mana banyak masyarakat adat menyesal setelah membiarkan lahan mereka dikelola perusahaan tanpa perlindungan hukum yang kuat.

"Di Riau, banyak lahan yang kini berubah menjadi kebun sawit dan sulit untuk kembali dikelola masyarakat sebagai plasma. Kami tidak ingin hal serupa terjadi di Sumatera Barat," ungkap Nusron.

Lebih jauh, Nusron menyatakan bahwa keberlanjutan sertifikat tanah ulayat nantinya akan sepenuhnya bergantung pada keputusan lembaga adat.

"Kalau tidak didaftarkan, rawan terjadi saling klaim, baik antara masyarakat adat maupun dengan negara. Dengan pendaftaran, semua menjadi lebih tertib dan terlindungi," katanya.

Kontributor : B Rahmat

Load More