Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Jum'at, 07 Januari 2022 | 10:15 WIB
Ilustrasi garis polisi. (Shutterstocks)

SuaraSumbar.id - Sebanyak enam orang pekerja pabrik pewarnaan dan percetakan di India tewas usai menghirup gas beracun, Kamis (6/1/2022). Selain itu, 23 orang lainnya dilarikan ke rumah sakit dan tujuh di antaranya dalam kondisi kritis.

Gas beracun tersebut disebabkan oleh pembuangan limbah bahan kimia ilegal. Peristiwa itu diungkapkan oleh para petugas daerah setempat.

Bencana gas beracun itu terjadi di kota industri Surat di Negara Bagian Gujarat sekitar pukul 04.00 waktu setempat.

Para pekerja berada di pabrik saat sejumlah bahan kimia dibuang di dekat lokasi itu, kata polisi dan seorang petugas pemadam kebakaran.

Baca Juga: 6 Potret Rumah Mewah Shraddha Kapoor, Indah Menghadap Laut!

"Bahan kimia dibuang secara ilegal dari sebuah kapal tanker ke sungai dekat pabrik, yang mungkin bereaksi dengan bahan kimia lain di dalam air dan menciptakan gas beracun," kata Kepala Departemen Pemadam Kebakaran Surat Municipal Corporation, Basant Pareek.

"Para pekerja menghirup gas dan mulai merasa sesak napas. Ketika kami sampai di tempat kejadian, para pekerja ditemukan pingsan di jalan dalam upaya mereka untuk menyelamatkan diri," ujarnya.

Enam pekerja meninggal sementara 23 orang dirawat di rumah sakit. Tujuh di antara mereka yang dirawat berada dalam kondisi kritis dan dipasangi ventilator, kata Pareek.

Pejabat tinggi kepolisian India Sharad Singhal mengatakan para petugas sedang menyelidiki peristiwa itu tetapi belum melakukan penangkapan.

"Ini bukan kebocoran gas yang tidak disengaja. Bahan kimia berbahaya sedang dalam keadaan dibuang saat insiden itu terjadi," katanya.

Baca Juga: Virus Corona di India Ngamuk, Dalam Satu Hari Nyaris Tembus 100 Ribu Kasus

India sebelumnya pernah mengalami bencana industri terburuk di dunia pada 1984 ketika gas metil isosianat bocor dari pabrik pestisida milik American Union Carbide Corporation di Kota Bhopal. Peristiwa kebocoran gas itu menewaskan lebih dari 5.000 orang. (Antara/Reuters)

Load More