SuaraSumbar.id - Kisah kelam tragedi Gerakan 30 September 1965 atau G30SPKI menyasar setiap daerah di Indonesia, termasuk di Sumatera Barat (Sumbar). Tak sedikit warga Sumbar saat itu yang ditangkap hingga dibantai lantaran dituduh menjadi simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pemerhati sejarah dari STKIP PGRI Sumbar, Syamdani mengatakan, aksi pembataian simpatisan PKI di Sumbar pasca G30SPKI di Sumbar berbeda dengan kisah kebanyakan di daearah lain di Indonesia.
Sumbar termasuk daerah "merah" dalam sejarah pemberontakan di Indonesia. Jauh sebelum pemberontakan PKI, gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) telah meletus di Ranah Minang. Gerakan ini lalu ditumpas oleh pasukan Kodam Diponegoro Jawa Tengah.
Pasca penumpasan PRRI, kata Syamdani, kekuatan pendukung PKI di Sumbar semakin meningkat. Posisi pos-pos pimpinan masyarakat yang sebelumnya diisi orang-orang anti PKI yang mendukung PRRI ditinggalkan.
Baca Juga:G30S PKI, Fakta Pemimpin PKI DN Aidit: Militan Hingga Pandai Berkampanye
"Ini terjadi karena pimpinan masyarakat yang anti PKI khawatir dengan dendam di antara orang-orang PKI. Atas kondisi itu, sebagian besar pos-pos pimpinan tersebut diisi oleh tokoh dan simpatisan PKI," katanya kepada SuaraSumbar.id, Rabu (29/9/2021).
Saat sebagian besar pos-pos pimpinan masyarakat diisi oleh tokoh dan simpatisan PKI, berbagai urusan administrasi dan sebagainya di pemerintahan dikaitkan dengan keanggotaan PKI. Hal itu juga berlaku di berbagai organisasi pendukungnya.
Kondisi tersebut memaksa masyarakat menyelaraskan diri dengan kondisi yang ada demi bertahan hidup di Sumbar.
Saat pos-pos pimpinan masyarakat dikuasai pendukung PKI, kata Syamdani, untuk mengoperasikan kendaraan jalur tertentu saja sopir harus menjadi anggota Serikat Buruh Kendaraan Bermotor (SBKB) yang berafiliasi dengan PKI.
"Jika tidak menjadi anggota SBKB, maka izin mengoperasikan kendaraan tidak keluar. Akibatnya karena tidak ada jalan lain, akhirnya ia didaftarkan sebagai anggota SBKB yang mendukung PKI," katanya.
Baca Juga:Suami-Istri Nikah Siri Tertangkap Razia di Bukittinggi, Ternyata Masih di Bawah Umur
Kondisi yang sama juga terjadi pada bidang kehidupan lain, seperti pertanian. Seorang petani tiba-tiba sudah tercatat sebagai anggota PKI lantaran hanya menerima bantuan cangkul dan menandatangani bukti pemberian bantuan. Padahal, petani tersebut adalah seorang yang tidak pandai tulis baca sama sekali.
"Cerita-cerita semacam ini banyak ditemukan ketika berbicara dengan orang-orangtua yang hidup pada zaman itu yang menjadi sasaran kekejian pasca peristiwa G30SPKI. Sebagian mereka juga kemudian ada yang ditangkap," tuturnya.
Dalam sebuah catatan sejarah, kata Syamdani, tercatat sekitar 25.653 orang tahanan G30SPKI di Sumbar. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5.967 orang di Kabupaten Padang Pariaman, 4.308 orang di Tanah Datar, 3.057 orang di Pasaman, 3.019 orang di kabupaten 50 Kota, 2.322 orang di Kabupaten Agam.
Kemudian di Kabupaten Pesisir Selatan sebanyak 1.889 orang, 1.239 orang di kabupaten Solok, 1.131 orang di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, 1.078 di Kota Padang, 727 orang di di Kota Sawahlunto, 536 orang di Payakumbuh, 189 orang di padang Panjang, 111 orang di Kota Solok dan 90 orang di Bukittinggi.
Berdasarkan data tersebut, diperkirakan aksi-aksi untuk meringkus eks anggota dan simpatisan PKI terjadi di sebagian wilayah kabupaten dan kota di Sumbar, terutama di daerah yang anggota dan simpatisan PKI lebih banyak.
"Pembersihan anggota dan simpatisan PKI dilakukan dengan berbagai macam cara dan yang paling keji adalah pembunuhan," ucapnya.
Saking banyaknya aksi pembataian, banyak mayat-mayat simpatisan PKI yang dihanyutkan hingga dikuburkan secara massal.
"Penelitian akurat tentang hal ini belum dilakukan. Angka korban yang dimunculkan oleh orang-orang tertentu hanya bersifat perkiraan," katanya.
Salah satu jumlah yang muncul ketika Saafroeddin Bahar dalam sebuah wawancaranya mengatakan, korban pembunuhan terhadap orang-orang PKI pasca G30SPKI di Sumbar lebih kurang 50 orang dan kebanyakan dilakukan oleh orang kampung mereka.
Secara nasional, sambung Syamdani, komisi pencari fakta yang ditunjuk Presiden Sukarno melaporkan bahwa pada Januari 1966 bahwa terdapat 78.500 orang mati dibunuh di Indonesia. Angka ini sengaja diperkecil oleh sebuah komisi yang dikuasai perwira-perwira militer dan yang mendasarkan laporannya pada informasi dari kalangan perwira militer juga.
"Salah satu dari dua orang sipil di dalam komisi, Oei Tjoe Tat, mengatakan bahwa secara pribadi ia menyampaikan kepada Sukarno, jumlah pembunuhan sebenarnya di Indonesia pasca G30SPKI mendekati angka 500.000 hingga 600.000 orang," tutupnya.
Kontributor : B Rahmat