Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Jum'at, 23 Mei 2025 | 20:11 WIB
Petani di Indonesia. [Dok. Antara]

SuaraSumbar.id - Masalah penyusutan lahan pertanian terus menghantui Indonesia. Kondisi serupa juga terjadi di Tiongkok atau China.

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, mengungkapkan bahwa Indonesia dan Tiongkok sama-sama menghadapi tantangan serius dalam mempertahankan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan yang masif.

Dalam periode 2013–2019, Indonesia kehilangan sekitar 300.000 hektar lahan sawah, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023.

Penyusutan ini menjadi sinyal bahaya bagi ketahanan pangan nasional yang menyokong kehidupan lebih dari 270 juta penduduk.

Sementara itu, Tiongkok yang hanya memiliki sekitar 10 persen lahan subur dari total luas wilayahnya, justru mampu menyiasatinya melalui pengembangan teknologi pertanian vertikal dan pemanfaatan smart farming berbasis teknologi informasi.

“Tiongkok mengembangkan sistem pertanian modern dengan dukungan riset kuat dari lembaga seperti China Academy of Agricultural Sciences (CAAS),” kata Alex dalam pernyataan resminya, Jumat (23/5/2025).

Ketua Panja Penyerapan Gabah dan Jagung DPR itu menyoroti perlunya riset pertanian nasional yang lebih intensif, terlebih setelah Komisi IV DPR RI melakukan kunjungan kerja ke CAAS di Beijing.

Dalam kunjungan tersebut, rombongan yang dipimpin Ketua Komisi IV, Titiek Soeharto, mempelajari pengelolaan pertanian vertikal cerdas yang terintegrasi dengan Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan (AI).

Sistem pertanian modern ala CAAS ini terbukti efisien dalam penggunaan lahan, air, dan tenaga kerja.

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman. [Dok. Istimewa]

“Pengalaman Tiongkok ini menjadi pelajaran penting. Kita tidak bisa terus mengandalkan cara lama. Indonesia butuh lompatan teknologi untuk menjawab tantangan ketahanan pangan,” tegas Alex.

Ia pun menyoroti inovasi lokal yang lahir dari petani-petani di Sumatera Barat, seperti sistem Sawah Pokok Murah (SPM).

Inovasi ini terbukti dapat menekan biaya produksi tanpa mengurangi hasil panen. Sayangnya, ujar Alex, inovasi seperti ini belum mendapatkan dukungan riset serius dari negara.

“Inovasi SPM ini telah memberikan hasil produksi setara dengan metode konvensional yang lebih mahal. Namun, tidak seperti CAAS di Tiongkok, belum ada riset negara yang menopang inovasi lokal kita,” ungkapnya.

Alex mengutip pernyataan proklamator bangsa, Soekarno, pada tahun 1952 saat peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian UI di Bogor: “Pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa.”

Menurutnya, kalimat ini harus menjadi peringatan serius dalam membangun strategi nasional bidang pangan, terlebih dengan visi besar Presiden Prabowo Subianto.

Dengan latar belakang militer yang memahami pentingnya logistik, Alex meyakini Presiden Prabowo menyadari bahwa ketahanan pangan nasional tidak bisa dilepaskan dari inovasi pertanian berbasis riset.

“Jika negara tidak hadir dan riset tidak dijalankan dengan konsisten, maka kita akan terus tertinggal. Petani kita butuh dukungan konkret, bukan sekadar himbauan,” kata Ketua DPD PDI Perjuangan Sumbar itu.

Alex juga mengingatkan bahwa Bung Karno pernah meluncurkan program pembangunan nasional semesta berencana yang berbasis riset ilmiah. Ini menjadi contoh nyata bahwa riset adalah tulang punggung pembangunan sektor pertanian.

Saat ini, Komisi IV DPR RI sedang membahas revisi UU Pangan, yang dipimpin langsung oleh Titiek Soeharto. Salah satu usulan penting yang didorong adalah memasukkan pasal tentang keberlanjutan riset dalam bidang pangan untuk memperkuat ketahanan nasional.

“Kita ingin agar ada jaminan dalam undang-undang bahwa riset pertanian tidak hanya menjadi proyek musiman, tapi bagian dari strategi jangka panjang. Tanpa itu, sulit mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dalam pangan,” tutup Alex.

Load More