SuaraSumbar.id - Rumah Gadang. Kalau kita jalan-jalan ke Sumatera Barat, kita akan melihat hampir semua arsitektur bangunan di sana memiliki atap runcing yang menjulang ke atas.
Mulai dari rumah tinggal, perkantoran, sekolah, rumah sakit dan rumah makan memiliki bentuk atap yang sama. Itulah replika dari atap rumah adat khas Minangkabau atau lebih dikenal dengan sebutan Rumah Gadang.
Dalam bahasa Minang, Gadang itu artinya besar. Sehingga Rumah Gadang berarti rumah yang besar. Tak heran ukuran rumah ini sangat besar bisa jadi salah satu rumah adat Indonesia yang paling megah.
Ragam Cerita Asal-usul Rumah Gadang
Baca Juga: 5 Wisata Sumbar untuk Liburan Singkat: Nagari 1000 Rumah Gadang Hingga Pulau Pagang
Banyak versi mengenai sejarah dan asal-usul Rumah Gadang di Sumatera Barat. Laman kemdikbud.go.id menulis, bentuk atap rumah tersebut dibuat menyerupai tanduk kerbau. Ini tidak terlepas dari sejarah yang melatarinya. Pada zaman dahulu kala, Kerajaan Majapahit dari pulau Jawa pernah ingin menaklukkan seluruh wilayah Sumatera, termasuk Minangkabau. Mengetahui hal tersebut, masyarakat Minangkabau tak tinggal diam. Mereka menolak niat Kerajaan Majapahit tersebut, namun tidak menginginkan pertumpahan darah.
Untuk mencegah peperangan, masyarakat Minang menawarkan adu kerbau dengan pasukan Majapahit. Jika Majapahit menang, mereka boleh merebut wilayah Minangkabau sebagai wilayahnya. Dan sebaliknya, jika kalah, maka seluruh tentara Majapahit harus meninggalkan ranah Minang. Tawaran ini kemudian disetujui oleh pimpinan pasukan Majapahit.
Tak disangka kerbau milik masyarakat Minang menang dalam pertempuran tersebut. Alhasil, sesuai kesepakatan, pasukan Kerajaan Majapahit harus hengkang dan kembali ke daerah asalnya. Untuk merayakan kemenangan dan mengingat peristiwa tersebut, masyarakat Minang sepakat mengganti bentuk atap rumah adat mereka dengan bentuk runcing ke atas, seperti bentuk tanduk kerbau.
Konon kata Minangkabau adalah gabungan dari dua kata, Minang dan Kabau. Minang berarti menang, Kabau berarti Kerbau. Jika disambung bisa bermakna kerbau yang menang. Sama seperti peristiwa adu kerbau dengan pasukan Kerajaan Majapahit.
Cerita berbeda dituliskan laman rumah123.com. Disana disebutkan, bentuk atap Rumah Gadang tidak terkait dengan peristiwa adu kerbau, melainkan sebagai ekspresi spiritualitas masyarakat setempat. Orang Padang asli biasa menyebut atap rumah yang runcing ke atas itu dengan istilah gonjong. Karena itu pula Rumah Gadang juga disebut sebagai Rumah Bagonjong. Dalam kepercayaan masyarakat Minang, atap Rumah Bagonjong yang menjulang tinggi ke atas, melambangkan harapan yang digantungkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Baca Juga: 5 Potret Rumah Dorce Gamalama, Layaknya Rumah Gadang Mewah dan Kental Nilai Budaya
Versi lainnya ditulis oleh blog.tripcetera.com. Laman tersebut menyebutkan, bentuk lancip atap rumah gadang terinspirasi dari kapal Lancang yang melintas di Sungai Kampar. Ketika bersandar di daratan, kapal tersebut diberi atap dengan menggunakan tiang layar yang diikat dengan tali. Karena bebannya terlalu berat, atap tersebut jadi melengkung dan membentuk sudut lancip ke atas. Akhirnya karena rusak dan tidak bisa digunakan, kapal tersebut akhirnya dialihfungsikan sebagai rumah warga Minang.
Filosofi Arsitektur Rumah Gadang
Dan secara umum, Rumah Gadang tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal. Melainkan juga sebagai tempat untuk melaksanakan sejumlah kegiatan masyarakat, diantaranya upacara adat.
Bentuk Rumah Gadang tidak terlepas dari beragam makna filosofisnya. Laman rumah123.com menulis, rumah ini dibangun menyesuaikan dengan falsafah alam. Atapnya yang miring dan lancip melambangkan air yang mengalir dari hulu menuju hilir. Bentuk ini memudahkan air terjatuh ketika diguyur hujan. Rumah Gadang konon juga dibuat sejajar dengan arah mata angin, untuk menghindari terpaan angin kencang dan sengatan sinar matahari.
Salah satu keunikan lain dari Rumah gadang adalah, rumah tersebut dibangun dengan arsitektur yang tahan gempa. Bisa jadi ini adalah bentuk kearifan lokal para leluhur dan nenek moyang masyarakat Minangkabau. Sebab pembangunan Rumah Gadang menyesuaikan dengan kondisi geografis Sumatera Barat yang rawan gempa, karena berada di lintasan cincin api.
Wikipedia.org menulis, seluruh tiang Rumah Gadang ditanamkan ke tanah, namun tetap bertumpu pada batu besar yang datar. Secara berbanjar, tiang tersusun rapih dari depan ke belakang, dan dari kiri ke kanan. Jumlah tiang biasanya ganjil, antara tiga hingga sebelas. Tiap sambungan kayu tidak dirapatkan menggunakan paku, melainkan disambung dengan pasak yang juga terbuat dari kayu. Ini membuat rangka utama Rumah Gadang menjadi fleksibel. Sehingga ketika gempa datang, rumah hanya bergoyang dinamis namun tidak roboh.
Masih dari laman Wikipedia.org, jumlah kamar di dalam Rumah Gadang dibuat berdasarkan jumlah anak perempuan yang tinggal di rumah tersebut. Ini bisa jadi terkait dengan sistem kekeluargaan yang mengikuti garis ibu (matrilineal) yang dianut masyarakat Minang.
Setiap perempuan yang telah memiliki suami, masing-masing mendapatkan satu kamar. Perempuan tua dan muda biasanya mendiami kamar yang berdekatan dengan dapur. Sementara perempuan belia menempati kamar di ujung satunya lagi.
Tak hanya bentuknya yang megah, ornament di tiap sudut Rumah Gadang juga memukau dan mengundang decak kagum. Wikipedia.org menulis, bagian depan Rumah Gadang terbuat dari papan dengan beragam corak dan motif. Sedangkan bagian belakang rumah biasanya terbuat dari bambu. Papan dinding terpasang secara vertikal, didominasi warna gelap dan penuh dengan ukiran yang menawan.
Terkait corak dan motif ukiran, laman blog.tripcetera.com menulis, pola ukiran di dinding Rumah Gadang biasa berbentuk garis melingkar atau persegi. Ini melambangkan tumbuhan merambat, seperti akar yang berdaun dan berbuah. Selain motif akar, ada juga motif ukiran berbentuk geometri, seperti segi tiga, segi empat atau jajaran genjang.
Kemegahan Rumah Gadang juga mencuri perhatian perhatian arsitek di sejumlah negara. Salah satunya Ton van de Ven, yang berkebangsaan Belanda. Menurut laman propertyinside.id, saking terpesonanya dengan arsitektur Rumah Gadang, Van de Ven membuat bangunan yang ia sebut The House of Five Sense, yang mirip dengan bentuk Rumah Gadang di Indonesia. Bangunan tersebut juga memiliki atap lancip yang menjulang tinggi sebanyak lima buah. Van de Ven menyebut, ke lima pucuk atap tersebut melambangkan lima indera pada manusia.
Kontributor : Rio Rizalino
Berita Terkait
-
Pertahankan Klasmen, Sriwijaya FC Tekuk Semen Padang 2-1
-
Pilwana di Agam Digelar November 2021, 119 Calon Wali Nagari Bersaing
-
Berhasil Pertahankan Klasemen, Sriwijaya FC 2-1 Semen Padang FC
-
Babak Pertama, Sriwijaya FC Ketinggalan 0-1 Semen Padang FC
-
Jarang Dilewati, Kondisi Jembatan Penyebarangan Orang di Padang Mengkhawatirkan
Tag
Terpopuler
- Eks Pimpinan KPK: Ustaz Khalid Basalamah Bukan Saksi Ahli, Tapi Terlibat Fakta Kuota Haji
- Jahatnya Sepak Bola Indonesia, Dua Pemain Bidikan Persija Ditikung di Menit Akhir
- 5 Rekomendasi Bedak Tahan Air dan Keringat Murah: Anti Luntur Sepanjang Hari
- Klub Impian Masa Kecil Jadi Faktor Jay Idzes Terima Pinangan Aston Villa
- 6 Mobil Bekas 7 Seater Termurah: Nyaman untuk Keluarga, Harga di Bawah Rp 70 Juta
Pilihan
-
Olahraga Padel Kena Pajak 10 Persen, Kantor Sri Mulyani Buka Suara
-
Sering Kesetrum Jadi Kemungkinan Alasan Ade Armando Dapat Jatah Komisaris PLN Nusantara Power
-
Sosok Chasandra Thenu, Selebgram Ambon Akui Dirinya Pemeran Video Viral 1,6 Menit
-
Harga Emas Antam Kembali Longsor, Kini Dibanderol Rp 1.907.000/Gram
-
Azizah Salsha, Istri Pratama Arhan Dihujat Habis-habisan Promosi Piala Presiden 2025
Terkini
-
Irsyad Maulana Pulang ke Semen Padang FC, Kabau Sirah Juga Gaet Bek Portugal Jelang Liga 1 2025/2026
-
Menpora Dito Ariotedjo Dorong Pencak Silat Jadi Daya Tarik Pariwisata Sumbar, Ini Alasannya
-
Waspada Tautan Saldo Gratis Palsu, Ini Daftar 5 Link DANA Kaget Asli 3 Juli 2025!
-
Anak Harimau Sumatera Mati di TMSBK Bukittinggi, Diduga Kelainan Genetik
-
3 Hack Foto Bikin Konten FYP dengan Galaxy S25 Edge