Turun Status, Badan Geologi Beberkan Kondisi Gas Beracun Gunung Marapi

Badan Geologi Kementerian ESDM melaporkan bahwa laju emisi gas sulfur dioksida (SO2) atau gas beracun Gunung Marapi menunjukkan angka yang rendah pascapenurunan status.

Riki Chandra
Senin, 02 Desember 2024 | 16:42 WIB
Turun Status, Badan Geologi Beberkan Kondisi Gas Beracun Gunung Marapi
Gunung Marapi di Sumatera Barat (Sumbar) saat mengalami erupsi. [Dok.Antara]

SuaraSumbar.id - Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bahwa laju emisi gas sulfur dioksida (SO2) atau gas beracun di Gunung Marapi, Sumatera Barat (Sumbar), menunjukkan angka yang rendah pascapenurunan status dari Siaga menjadi Waspada.

Pemantauan ini menjadi penting untuk memastikan keselamatan masyarakat di sekitar gunung api tersebut.

"Dari pantauan satelit Sentinel, gas SO2 terukur dengan kuantitas yang tergolong rendah," ujar Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Muhammad Wafid, dalam keterangan resminya, Senin (2/12/2024).

Menurut data yang dihimpun, kuantitas gas SO2 Gunung Marapi pada 24 November 2024 tercatat sebesar 57 ton per hari. Aktivitas gunung setinggi 2.891 meter di atas permukaan laut itu didominasi pelepasan gas atau degassing dengan kandungan gas magmatik yang tergolong rendah.

Meski aktivitas Gunung Marapi menunjukkan penurunan, Badan Geologi tetap mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap potensi bahaya gas vulkanik beracun seperti karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), dan hidrogen sulfida (H2S). Ancaman ini terutama mengintai di area kawah atau puncak gunung yang berada di wilayah Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar.

Selain itu, masyarakat diminta tetap berhati-hati terhadap potensi letusan kecil serta bahaya sekunder berupa lahar dingin, terutama saat memasuki musim hujan.

Muhammad Wafid menjelaskan bahwa evaluasi data pemantauan menunjukkan aktivitas Gunung Marapi bersifat fluktuatif dengan kecenderungan menurun dalam satu minggu terakhir. Namun, erupsi kecil masih dapat terjadi sewaktu-waktu akibat pelepasan energi akumulatif.

"Potensi letusan kecil masih ada, terutama di sekitar radius tiga kilometer dari pusat aktivitas, yaitu Kawah Verbeek," ungkap Wafid.

Meski demikian, ia menilai kecil kemungkinan terjadinya letusan besar seperti yang terjadi pada Desember 2023.

Badan Geologi terus memantau perkembangan aktivitas gunung api ini melalui berbagai metode, termasuk satelit dan alat pemantauan lapangan. Data ini menjadi acuan utama dalam memberikan peringatan dini kepada masyarakat sekitar. (antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak