Bahas Nasib Media Lokal di Local Media Summit 2022, Pimpred Suara.com: Tahu Konten, Tapi Bisnisnya Tidak!

Suara.com bekerja sama dengan International Media Support (IMS) menggelar pertemuan akbar media lokal se-Indonesia bertajuk Local Media Summit (LMS) 2022.

Riki Chandra | Wakos Reza Gautama
Kamis, 27 Oktober 2022 | 12:09 WIB
Bahas Nasib Media Lokal di Local Media Summit 2022, Pimpred Suara.com: Tahu Konten, Tapi Bisnisnya Tidak!
Suara.com bekerja sama dengan International Media Support (IMS) menggelar pertemuan akbar media lokal se-Indonesia bertajuk Local Media Summit (LMS) 2022. [Dok.Suara.com]

SuaraSumbar.id - Suara.com bekerja sama dengan International Media Support (IMS) menggelar pertemuan akbar media lokal se-Indonesia bertajuk Local Media Summit (LMS) 2022.

Kegiatan yang dihadiri sekitar 300 media lokal dari Aceh sampai Papua ini berlangsung selama dua hari dari 27-28 Oktober 2022 di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono mengaku surprise atas antusiasme para pemilik media lokal dalam event yang baru pertama kali diselenggarakan di Indonesia itu.

Menurutnya, banyak hal menarik yang akan dibahas di LMS 2022, terutama terkait perkembangan media lokal baik dari segi konten maupun dari segi bisnis.

Suwarjono mengatakan, tantangan media lokal saat ini adalah keberlanjutan dari segi bisnisnya. "Hampir sebagian besar pemilik media lokal adalah jurnalis yang tahu konten, tapi tidak tahu soal bisnisnya,” kata Suwarjono saat sambutan acara pembukaan LMS 2022.

Baca Juga:Ratusan Media Lokal Bertemu di Local Media Summit (LMS) 2022: Jawab Tantangan dan Solusi Masa Depan

Menurutnya, bisnis media era digital saat ini tidak hanya fokus membuat konten, tapi juga harus memikirkan infrastrukturnya agar konten yang diproduksi bisa dibaca banyak orang.

“Bagi teman-teman sekarang yang jadi pemilik media di mana basicnya jurnalis di daerah, yang harus kita pelajari tidak hanya konten. Konten hanya sebagian kecil,” kata Suwarjono.

Menurut Suwarjono, ada beberapa hal yang akan dibahas dalam pertemuan ini. Pertama adalah adanya kesenjangan pengetahuan antara media di Jakarta dengan daerah terkait pengetahuan digital, teknologi, dan bisnis model.

“Paling banyak ke depan adalah melakukan eksperimen baru karena belum menemukan titik keseimbangan baru bagi media publisher,” ujarnya.

Suwarjono mengatakan, model lama bisnis media lokal yang berbasis iklan dan langganan sudah ketinggalan ketika diterapkan ke media baru. “Ini karena orang Indonesia tidak mau berlanggangan tidak mau membeli sebuah konten. Dan ini menjadi tantangan cukup berat. Iklan sangat tidak mendukung terhadap pola kerja publisher,” jelas Suwarjono.

Sementara bisnis model saat ini yang mengandalkan pageviews, akan berhadapan dengan konten receh, hantu, prank dan hoaks.

Baca Juga:Pemimpin Redaksi Suara.com Bagi 5 Model Pembiayaan Media di Indonesia

“Konten receh dengan konten jurnalisme yang pembacanya kecil, secara iklan kalah harganya. Tantangan cukup besar bagi kita untuk beradaptasi, berubah. Poinnya kalau itu diteruskan nasib jurnalisme kita bisa habis kalau model bisnis tetap sama,” ujar dia.

Isu ini cukup menantang sehingga butuh banyak sharing mencari pola baru, bisnis model bagi media lokal. Suwarjono membagi lima model biaya untuk media atau model bisnis media saat ini.

Pertama media sebagai konten kreator dimana membuat konten untuk platform global seperti google, facebook, twitter, instagram, tiktok.

Media sebagai konten kreator atau konten provider, kata Suwarjono, ancamannya adalah media jadi tergantung dengan platform tersebut. Lalu ada media dengan berbasis berlangganan di mana hal ini menurut Suwarono, cukup berat. Ada juga bisnis media sebagai display.

“Membuat media sebagai tempat display sebagai outlet sementara bisnisnya di tempat lain. Saya kebayang 2024 ,media sebagai outlet dipakai calon-calon,” ujarnya.

Keempat media dikelola berbasis donor yang memiliki konten niche. “Kelima adalah menggabungkan banyak model. Dia menggunakan ekosistem digital baik untuk distribusi bagi digital, agensi, PH. Lima model ini menarik, tapi butuh model baru lagi supaya tidak stagnan,” ujar Suwarojono.

Bicara soal desentralisasi media, menurut Suwarjono, keberlangsungannya yang jadi bahasan penting.

“10 tahun lalu model online yang dibuat berbasis artikel, 10 tahun terakhir sudah banyak gambar, belakangan video di Youtube. Dua tahun terakhir terjadi disrupsi lagi itu adalah di platform video pendek dan vertical video. Ini membuat semua pengelola media mengubah template dari media panjang ke short video dan mengubah ke vertical video,” ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini