SuaraSumbar.id - Sebanyak 168 orang tewas dalam konflik tambang yang terjadi di seluruh Indonesia. Angka tersebut dihimpun Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) selama 6 tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam catatan JATAM, konflik tambang itu terjadi sepanjang 2014-2020 atau masa pemerintahan Joko Widodo. Setidaknya, terjadi sebanyak 116 kali konflik tambang di 1.640.400 hektare tanah yang merenggut 168 nyawa.
Divisi Jaringan dan Simpul JATAM Nasional Ki Bagus mengatakan, angka konflik pertanahan antara warga dan perusahaan tambang tahun 2020 saja tercatat ada 45 konflik di atas 714.692 hektare tanah. Luas ini setara dengan 3 kali lipat luas wilayah Hong Kong.
"Di 2019 ada 11 konflik, kemudian tahun 2020 mencapai 45 konflik, atau hanya dalam satu tahun lonjakannya lebih dari empat kali, konflik yang paling banyak itu terkait perampasan lahan dan kriminalisasi," kata Ki Bagus dalam jumpa pers virtual, Minggu (24/1/2021).
Baca Juga:Natalius Pigai Diserang, Roy Suryo Colek Jokowi, Ahok, dan Erick Thohir
Jika ditotal dalam masa kepemimpinan Jokowi, sejak 2014 sampai 2020 tercatat sudah ada 116 konflik tanah tambang dengan luasan 1.640.400 hektar atau setara 3x luas Pulau Bali.
"Ini catatan yang sangat buruk, karena dalam waktu setahun saja konflik yang terjadi bisa 5 kali lebih banyak dari tahun 2019," jelasnya.
Lebih lanjut, JATAM juga mencatat ada 3.092 lubang tambang yang dibiarkan tanpa reklamasi atau perbaikan oleh perusahaan tambang di seluruh Indonesia.
Sebaran ribuan lubang tambang itu ada di Aceh (6), Riau (19), Sumatera Barat (22), Bengkulu (54), Lampung (9), Jambi (59), Sumatera Selatan (163), Banten (2), Kalimantan Selatan (814), Kalimantan Utara (44), Kalimantan Timur (1.735), dan Sulawesi Selatan (2).
"Kita mencatat dari 2014-2020 ada 168 warga menjadi korban di lubang tambang, mayoritas anak-anak, contoh di Samarinda Kaltim ada sekitar 39 anak meninggal karena tenggelam di lubang tambang, ada juga yang terbakar karena jatuh ke lubang yang masih ada batu baranya," ungkapnya.
Baca Juga:Sentil Keras Jokowi, Natalius Pigai: PDIP dan Pemerintah Orang Rasis!
Kondisi ini, menurut JATAM akan semakin parah karena disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR.
"Apalagi sekarang kewenangan memberi izin, mengawasi pertambangan itu seluruhnya diserahkan ke pemerintah pusat lewat UU Cipta Kerja, sementara saat dikerjakan pemerintah daerah saja seperti ini potret daya rusaknya, bagaimana kalau semua terpusat di Jakarta," tutupnya.