Scroll untuk membaca artikel
Suhardiman
Jum'at, 25 November 2022 | 14:46 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual (Shutterstock).

SuaraSumbar.id - Women's Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan mencatat telah mendampingi 94 korban kekerasan di Sumatera Barat (Sumbar) hingga November 2022. 

Direktur WCC Nurani Perempuan Rahmi Meri Yenti mengatakan, korban kekerasan seksual sebanyak 51 orang. Selebihnya merupakan korban KDRT, perundungan, penganiayaan hingga kekerasan dalam berpacaran.

"Berdasarkan data ternyata kasus kekerasan seksual berada pada posisi paling tinggi, yaitu 51 korban. Dari jumlah tersebut bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilaporkan itu beragam," katanya Jumat (25/11/2022).

Bentuk kekerasan seksual itu, kata Meri, perkosaan 21 korban, pelecehan seksual fisik dan non fisik 21 korban, sodomi dua korban dan kekerasan berbasis elektronik (KBGO) sebanyak tujuh korban.

Baca Juga: Heboh! Denise Chariesta Sudah Berani Nyebut Nama Regi Datau dan Ayu Dewi; Kasihan Sampai Umroh dan Masuk Rumah Sakit

"Dari keseluruhan korban kekerasan seksual ini, sebanyak 30 korban merupakan korban usia anak (0-17) dan 21 korban merupakan usia dewasa," jelasnya.

Meri mengungkapkan, pihaknya juga menemukan kasus kekerasan seksual yang dilaporkan tidak selalu bermuara ke kepolisian. Apalagi untuk korban usia dewasa, korban akan mengalami victimisasi dan selalu disalahkan sehingga memilih untuk diam dan enggan melapor ke kepolisian.

"Seharusnya tindakan menyalahkan korban tidak terjadi karena banyak penderitaan yang diterima. Kenapa selalu korban yang disalahkan? Namun hal itu yang masih membudaya dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual, sehingga sulit bagi korban untuk memperjuangkan keadilan bagi dirinya," ungkapnya.

Apalagi, lanjutnya, ketika yang menjadi pelaku adalah pejabat publik, dosen, aparat, dan pihak-pihak yang memiliki kuasa yang lebih kuat.

"Sehingga menjadikan kekuasaan mereka untuk menguasai korbannya sebagai budak seksual yang kapan pun bisa mereka paksa," jelasnya.

Baca Juga: Sempat Vakum karena COVID-19, Weverse Con Festival Digelar Lagi di Tahun 2023

Catatan WCC Nurani Perempuan juga mengungkap pelaporan kasus kekerasan seksual saat ini juga masih sulit, terlebih korban selalu dibebankan pembuktian terlebih dahulu sebelum dibuatkan laporan polisi.

Selain itu kepolisian membuat mekanisme dumas (pengaduan masyarakat) dalam hal penerimaan kasus kekerasan seksual yang sebenarnya ini bertentangan dengan aturan yang berlaku. Hal ini tentunya semakin mempersulit penanganan kasus kekerasan di kepolisian.

Meri menyebutkan, kasus kekerasan seksual yang didampingi di tahun ini sampai saat ini masih dalam tahap penyelidikan di kepolisian. Belum ada kasus yang dinyatakan lengkap atau P-21 di kejaksaan.

"Dan untuk tahun ini yang sampai ke pengadilan itu yang kami dampingi kasus di tahun 2021. Kasus di tahun ini belum sampai ke persidangan. Kalau KDRT, dia sudah memilih proses pengadilan agama," ucapnya.

"Kendala adalah saksi. Karena memang di beberapa kasus yang terungkap saat ini, kasus yang terjadi beberapa tahun lalu," sambung Meri.

Ia menjelaskan dalam UU TPKS satu keterangan saksi atau korban dan barang bukti sudah cukup untuk menentukan dakwaan terhadap seseorang. Adapun alat bukti yang sah yang dimaksud yaitu keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, alat bukti lain seperti informasi dan atau dokumen elektronik yang diatur dalam perundang-undangan ini.

"Artinya jika adanya laporan mengenai kekerasan seksual dan dilaporkan sendiri oleh korban dengan tidak membawa bukti atau saksi tidak serta merta tidak bisa dilakukan upaya penegakan hukum. Karena pembuktian seyogyanya bukanlah dibebankan sepenuhnya kepada korban, pihak yang berwenang dapat melakukan pemanggilan terhadap terlapor dan memperoleh keterangan darinya," pungkasnya.

Kontributor: Saptra S

Load More