Scroll untuk membaca artikel
Riki Chandra
Jum'at, 22 April 2022 | 18:01 WIB
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. [Dok.Antara]

SuaraSumbar.id - Sistem pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia dianggap tak ramah perempuan. Akibatnya, sejak Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019 tingkat keterpilihan perempuan belum pernah mencapai 30 persen dari total anggota DPR RI.

Hal itu dinyatakan Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. "Kami tetap ingin mewujudkan perjuangan 30 persen afirmasi. Jadi, perjuangan para calon anggota legislatif dan anggota legislatif perempuan itu memang luar biasa. Hempasan dari segala lini," kata Titi Anggraini, Jumat (22/4/2022).

Titi menyebutkan hasil Pemilu Anggota DPR RI 1999 tercatat 45 perempuan atau 9 persen dari total anggota legislatif. Pemilu berikutnya pada tahun 2004 meningkat menjadi 11 persen (61 orang).

Pada Pemilu 2009 mengalami peningkatan cukup signifikan sekitar 18,4 persen (101 orang), Pemilu 2014 turun menjadi 17,6 persen (97 orang), kemudian Pemilu 2019 naik kembali hingga 20,5 persen (118 orang).

Baca Juga: Soroti Dukungan Jokowi 3 Periode, Perludem Ungkap Strategi Jahat Negara Otoriter, Salah Satunya Bikin Presiden Boneka

"Yang membuat kaum hawa bertahan adalah konsistensi dalam perjuangan. Kalau bukan kami, siapa lagi," kata Titi yang pernah terpilih sebagai Duta Demokrasi International Institute for Electoral Assistance (International IDEA).

Menyinggung soal peluang perempuan sebagai anggota DPR RI pada Pemilu 2024, dia memandang perlu partai politik dan penyelenggara pemilu menyinergikan modalitas loyalitas pemilih perempuan dengan akses pada informasi, pengetahuan, dan pendidikan kepemiluan sehingga pemilih perempuan benar-benar menjadi pemilih yang berdaya dan berdaulat.

Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perludem mendorong komitmen pimpinan partai politik untuk mewujudkan penempatan perempuan pada nomor urut 1 di paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil).

Tingkat keterpilihan berdasarkan nomor urut pada Pemilu 2019, menurut dia, sangat menentukan calon anggota legislatif (caleg) terpilih pada pemilu. Hal ini mengingat kebanyakan mereka yang berada di nomor urut 1 menjadi wakil rakyat.

Ia lantas menyebutkan caleg di nomor urut 1 untuk laki-laki yang terpilih sebagai anggota legislatif sebanyak 308 orang, sedangkan perempuan tercatat 57 orang. Caleg nomor urut 2 yang menjadi wakil rakyat 80 laki-laki dan 29 perempuan.

Baca Juga: Perludem: Indeks Demokrasi Indonesia Membaik Tapi Masih Kategori Cacat

Caleg nomor urut 3 (14 laki-laki dan 15 perempuan); nomor urut 4 (22 laki-laki dan 5 perempuan); nomor urut 5 (16 laki-laki dan 5 perempuan); nomor urut 6 (2 laki-laki dan 6 permpuan); nomor urut 7 (8 laki-laki dan 1 perempuan).

Perempuan yang menempati urutan nomor berikutnya, yakni 8, 9, dan 10, kata Titi, tidak ada yang terpilih dalam Pemilu Anggota DPR RI.

Oleh karena itu, Titi memandang penting parpol menyusun data base anggota, data base berbasis suara, dan peta dapil untuk mendukung pencalonan perempuan secara lebih terencana, terukur, sistematis, dan strategis.

Selain itu, perempuan calon perlu memanfaatkan keterbukaan data pemilu (open data KPU dan berbagai publikasi melalui sistem teknologi informasi KPU/Bawaslu) untuk menyusun basis, strategi, dan prioritas kerja-kerja pemenangan.

Di lain pihak, lanjut Titi, gerakan perempuan penting mengawal seleksi penyelenggara pemilu di daerah sehingga memenuhi keterpilihan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan di KPU dan Bawaslu pada tingkatan daerah.

"Reformasi sistem politik, kepartaian, dan pemilu harus terus didorong agar adil dan ramah gender," kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini. (Antara)

Load More